Keabsahan Menukar dan Mengembalikan Barang Yang Telah Dibeli Konsumen
Gambar 1 Contoh nota pembayaran ( sumber : heradhis.blogspot.co.id)
Klausul
berasal dari bahasa Inggris yaitu clause yang
artinya ketentuan, sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ( KBBI ) arti
kata klausul adalah ketentuan tersendiri dari suatu perjanjian. Jadi klausul
baku adalah ketentuan di dalam suatu perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha
dan harus ditaati oleh konsumen dimana isi dari perjanjian tersebut sudah
ditentukan oleh pelaku usaha. Sedangkan pengertian
klausul baku menurut Pasal 1 ayat ( 10 ) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen adalah setiap aturan atau ketentuan dan
syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara
sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau
perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
Namun
tidak selalu isi klausul baku tersebut selalu merugikan konsumen, apabila isi
klausul baku tersebut dinilai berat sebelah atau dengan kata lain menguntungkan
pelaku usaha dan merugikan konsumen maka konsumen dapat menyatakan haknya
tentang perlindungan hukum terhadap konsumen, karena dengan berat sebelah tidak
mencerminkan nilai keadilan yang menjadi azas dasar terhadap hukum perlindungan
konsumen. Maka daripada itulah muncul Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen sebagai salah satu wujud penjaminan dan perlindungan
kepada hak-hak konsumen.
Klausul
baku seharusnya sama-sama memberikan rasa keadilan bagi kedua belah pihak ( win-win solution ) agar neraca keadilan
bagi konsumen dan pelaku usaha seimbang. Tetapi
yang menjadi pertanyaan adalah apakah perlindungan terhadap konsumen sudah
sepenuhnya diterapkan dengan baik ?
Penerapan
terhadap perlindungan konsumen yang biasanya terjadi di lapangan atau transaksi
jual beli pada umumnya mengalami hambatan, hambatan tersebut dapat disebabkan
oleh faktor-faktor sebagai berikut :
a. Kesadaran
hukum yang dimiliki oleh pelaku usaha maupun konsumen masih rendah, sehingga
mengakibatkan tujuan yang hendak dicapai oleh Undang-undang perlindungan
konsumen tersebut tidak dapat berjalan dengan maksimal;
b. Keengganan
konsumen untuk menuntut apa yang seharusnya menjadi haknya kepada pelaku usaha;
Pada
dasarnya semua konsumen dilindungi oleh Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, begitu pula perlindungan konsumen terhadap
klausul baku yang dibuat oleh pelaku usaha. Sesuai ketentuan Pasal 18 ayat ( 1 ) dan ayat ( 2 ) Undag-undang Nomor
8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pelaku usaha dilarang untuk
mencantumkan atau membuat klausul baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian
apabila memuat ketentuan sebagai berikut :
Ayat ( 1 ) :
a.
Menyatakan
pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b.
Menyatakan
bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang telah dibeli
konsumen;
c.
Menyatakan
bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas
barang dan/atau jasa yang telah dibeli konsumen;
d.
Menyatakan
pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun
tidak langsung untuk melakukan tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang
yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e.
Mengatur
pembuktian atas hilangnya kegunaan hilangnya barang atau pemanfaatan jasa yang
dibeli oleh konsumen;
f.
Memberi
hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta
kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa;
g.
Menyatakan
tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan
dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha dalam
masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h.
Menyatakan
bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak
tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang telah dibeli oleh
konsumen secara angsuran.
Ayat
( 2 )
Pelaku
usaha dilarang mencantumkan klausul baku yang letak atau bentuknya sulit
terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas atau pengungkapannya sulit
dimengerti.
Jadi
apabila kita bertindak sebagai konsumen kemudian melakukan transaksi jual beli
dan kita mendapatkan sebuah nota
pembelian yang didalamnya terdapat kata barang yang sudah dibeli tidak dapat
ditukar / dikembalikan maka konsekuensinya klausul baku tersebut adalah batal
demi hukum / absolut nietig ( Pasal
18 ayat ( 3 ) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen )
karena klausul baku yang telah dibuat oleh pelaku usaha tersebut sesuai dengan
Pasal 18 ayat ( 1 ) huruf ( b ) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen yang secara jelas dilarang dicantumkan dalam sebuah
klausula baku.
Alasan yang lain yang
mungkin mendasari konsumen melakukan pengembalian barang atau jasa yang telah
dibelinya adalah karena adanya cacat tersembunyi dari suatu barang atau jasa yang
tidak diketahui oleh konsumen pada saat melakukan jual beli.
Sedangkan menurut Pasal 1504 BW dinyatakan bahwa penjual harus menanggung
segala kecacatan yang tersembunyi pada barang yang dijual, apabila kecacatan
tersebut tidak tersembunyi dan secara kasat mata dapat dilihat oleh penjual dan
pembeli maka menurut Pasal 1505 BW penjual tidak diwajibkan untuk menanggung
kecacatan tersebut.
Yang dapat ditanggung
oleh pelaku usaha adalah cacat yang tersembunyi didalam suatu barang atau jasa
yang dijual meskipun cacat tersebut tidak diketahui oleh pelaku usaha kecuali
didalam suatu perjanjian jual beli dinyatakan bahwa pihak penjual tidak berhak
menanggung kecacatan yang tersembunyi ( Pasal 1506 BW ). Kelemahan dari Pasal
1506 BW adalah apabila barang yang telah dibeli oleh konsumen seutuhnya baik
tanpa ada cacat tersembunyi apapun, kemudian secara sengaja konsumen atau
pembeli merusak barang yang telah dibelinya tersebut sehingga seolah-olah
barang yang telah dibeli tersebut terlihat cacat dengan tujuan untuk memperoleh
penukaran dari barang tersebut dan disisi lain juga dapat merugikan pelaku
usaha.
Sesuai
Pasal 62 ayat ( 1 ) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen berlaku ketentuan pidana apabila pelaku usaha melanggar Pasal 18
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
“ Pelaku usaha yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat
(2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c,huruf e, ayat (2)
dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana
denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah). “
Namun perlu diingat bahwa ketentuan pidana hanyalah
sebuah upaya terakhir ( foldium remedium ).
DAFTAR PUSTAKA :
Burgerlijk Wetboek
Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar