Minggu, 25 Februari 2018

Keabsahan Menukar dan Mengembalikan Barang Yang Telah Dibeli Konsumen


Keabsahan Menukar dan Mengembalikan Barang Yang Telah Dibeli Konsumen



Gambar 1 Contoh nota pembayaran ( sumber : heradhis.blogspot.co.id)


 Pernahkah anda membeli sebuah barang di toko lalu anda menerima sebuah nota pembelian dan didalam nota pembelian tersebut biasanya ada tulisan barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar / dikembalikan ? nota pembelian yang demikian adalah nota pembelian yang terdapat sebuah klausul baku yang bentuknya sudah ditentukan oleh pelaku usaha, dan sebagai konsumen mau tidak mau harus mentaati apa yang telah ditentukan oleh pelaku usaha, yang salah satunya adalah klausul baku tersebut. Klausul baku pada umumnya dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha.


Klausul berasal dari bahasa Inggris yaitu clause yang artinya ketentuan, sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ( KBBI ) arti kata klausul adalah ketentuan tersendiri dari suatu perjanjian. Jadi klausul baku adalah ketentuan di dalam suatu perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha dan harus ditaati oleh konsumen dimana isi dari perjanjian tersebut sudah ditentukan oleh pelaku usaha. Sedangkan pengertian klausul baku menurut Pasal 1 ayat ( 10 ) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.

Namun tidak selalu isi klausul baku tersebut selalu merugikan konsumen, apabila isi klausul baku tersebut dinilai berat sebelah atau dengan kata lain menguntungkan pelaku usaha dan merugikan konsumen maka konsumen dapat menyatakan haknya tentang perlindungan hukum terhadap konsumen, karena dengan berat sebelah tidak mencerminkan nilai keadilan yang menjadi azas dasar terhadap hukum perlindungan konsumen. Maka daripada itulah muncul Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sebagai salah satu wujud penjaminan dan perlindungan kepada hak-hak konsumen.

Klausul baku seharusnya sama-sama memberikan rasa keadilan bagi kedua belah pihak ( win-win solution ) agar neraca keadilan bagi konsumen dan pelaku usaha seimbang. Tetapi yang menjadi pertanyaan adalah apakah perlindungan terhadap konsumen sudah sepenuhnya diterapkan dengan baik ?

Penerapan terhadap perlindungan konsumen yang biasanya terjadi di lapangan atau transaksi jual beli pada umumnya mengalami hambatan, hambatan tersebut dapat disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut :

a.       Kesadaran hukum yang dimiliki oleh pelaku usaha maupun konsumen masih rendah, sehingga mengakibatkan tujuan yang hendak dicapai oleh Undang-undang perlindungan konsumen tersebut tidak dapat berjalan dengan maksimal;
b.      Keengganan konsumen untuk menuntut apa yang seharusnya menjadi haknya kepada pelaku usaha;

Pada dasarnya semua konsumen dilindungi oleh Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, begitu pula perlindungan konsumen terhadap klausul baku yang dibuat oleh pelaku usaha. Sesuai ketentuan Pasal 18 ayat ( 1 ) dan ayat ( 2 ) Undag-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pelaku usaha dilarang untuk mencantumkan atau membuat klausul baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila memuat ketentuan sebagai berikut :

Ayat ( 1 ) :
a.      Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b.      Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang telah dibeli konsumen;
c.       Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang telah dibeli konsumen;
d.      Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e.       Mengatur pembuktian atas hilangnya kegunaan hilangnya barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f.       Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa;
g.      Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h.      Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang telah dibeli oleh konsumen secara angsuran.

Ayat ( 2 )
Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausul baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas atau pengungkapannya sulit dimengerti.

Jadi apabila kita bertindak sebagai konsumen kemudian melakukan transaksi jual beli dan kita mendapatkan sebuah nota pembelian yang didalamnya terdapat kata barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar / dikembalikan maka konsekuensinya klausul baku tersebut adalah batal demi hukum / absolut nietig ( Pasal 18 ayat ( 3 ) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ) karena klausul baku yang telah dibuat oleh pelaku usaha tersebut sesuai dengan Pasal 18 ayat ( 1 ) huruf ( b ) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang secara jelas dilarang dicantumkan dalam sebuah klausula baku.

Alasan yang lain yang mungkin mendasari konsumen melakukan pengembalian barang atau jasa yang telah dibelinya adalah karena adanya cacat tersembunyi dari suatu barang atau jasa yang tidak diketahui oleh konsumen pada saat melakukan jual beli. Sedangkan menurut Pasal 1504 BW dinyatakan bahwa penjual harus menanggung segala kecacatan yang tersembunyi pada barang yang dijual, apabila kecacatan tersebut tidak tersembunyi dan secara kasat mata dapat dilihat oleh penjual dan pembeli maka menurut Pasal 1505 BW penjual tidak diwajibkan untuk menanggung kecacatan tersebut.

Yang dapat ditanggung oleh pelaku usaha adalah cacat yang tersembunyi didalam suatu barang atau jasa yang dijual meskipun cacat tersebut tidak diketahui oleh pelaku usaha kecuali didalam suatu perjanjian jual beli dinyatakan bahwa pihak penjual tidak berhak menanggung kecacatan yang tersembunyi ( Pasal 1506 BW ). Kelemahan dari Pasal 1506 BW adalah apabila barang yang telah dibeli oleh konsumen seutuhnya baik tanpa ada cacat tersembunyi apapun, kemudian secara sengaja konsumen atau pembeli merusak barang yang telah dibelinya tersebut sehingga seolah-olah barang yang telah dibeli tersebut terlihat cacat dengan tujuan untuk memperoleh penukaran dari barang tersebut dan disisi lain juga dapat merugikan pelaku usaha.

Sesuai Pasal 62 ayat ( 1 ) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen berlaku ketentuan pidana apabila pelaku usaha melanggar Pasal 18 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

“ Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c,huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah). “

Namun perlu diingat bahwa ketentuan pidana hanyalah sebuah upaya terakhir ( foldium remedium ).

 DAFTAR PUSTAKA :


Burgerlijk Wetboek
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen



                               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar