Jumat, 02 Februari 2018

Pembuktian dan Alat Bukti Dalam Hukum Acara Pidana

Pembuktian dan Alat Bukti Dalam Hukum Acara Pidana


A.    Pembuktian dalam hukum acara pidana

Pembuktian merupakan suatu unsur terpenting dalam suatu acara pemeriksaan persidangan. Prinsip pembuktian dalam hukum acara pidana adalah untuk mencari kebenaran materiil atau kebenaran yang sesungguhnya atau kebenaran yang secara objektif digali dari objek-objek yang berkaitan dengan suatu tindak pidana tertentu. Dalam hukum acara pidana seorang hakim harus secara aktif menggali fakta-fakta yang ada didalam persidangan, disini hakim tidak boleh terpengaruh apa yang didakwakan oleh penuntut umum kepada terdakwa atau pembelaan yang dilakukan oleh penasihat hukum terdakwa. Melainkan hakim harus aktif mencari kebenaran untuk memutus suatu perkara berdasarkan pada pembuktian yang ada pada persidangan dengan penuh kearifan, bijaksana dan tidak pandang bulu. Karena hakim juga berperan sebagai penegak hukum maka juga harus menerapkan azas equality before the law atau prinsip semua orang mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum.

Pembuktian pada acara persidangan pidana ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 183 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Acara Pidana atau yang lebih familiar dikenal sebagai Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ). Dalam Pasal 183 KUHAP ditentukan bahwa dalam menjatuhkan pidana terhadap seorang terdakwa, hakim harus mempunyai paling sedikit 2 ( dua ) alat bukti yang dapat meyakinkan seorang hakim bahwa dengan adanya minimal 2 ( dua ) alat bukti tersebut hakim yakin bahwa terdakwa telah bersalah melakukan suatu tindak pidana tertentu, apabila alat bukti tersebut kurang dari 2 ( dua ) maka hakim tidak diperbolehkan menjatuhkan pidana terhadap seorang terdakwa. Kecuali dalam suatu acara pemeriksaan cepat, maka hakim untuk menguatkan keyakinannya dapat menunjuk hanya satu alat bukti ( Penjelasan Pasal 184 KUHAP ).

B.     Alat Bukti Yang Terdapat Dalam KUHAP

Sedangkan alat bukti yang dapat menjadi suatu bukti yang sah dalam suatu acara persidangan pidana sesuai ketentuan Pasal 184 ayat ( 1 ) KUHAP meliputi :
  1. Keterangan Saksi;
  2. Keterangan Ahli;
  3. Bukti Surat;
  4. Bukti Petunjuk, dan;
  5. Keterangan Terdakwa.


Ad. 1. Keterangan Saksi


Yang dimaksud dengan saksi adalah orang yang mengalami sendiri, mengetahui, dan mendengar bahwa terdapat suatu peristiwa tindak pidana dan atas pengetahuannya bahwa terdapat suatu peristiwa pidana kemudian saksi tersebut dapat memberikan keterangan atas itu sebagai salah satu alat bukti dalam persidangan. Pasal 1 ayat ( 26 ) KUHAP menjelaskan definisi saksi yaitu :

" Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang dia dengar sendiri, dia lihat sendiri dan dia alami sendiri "

Sedangkan keterangan saksi adalah segala keterangan yang diberikan oleh saksi yang mengalami sendiri, mengetahui, dan mendengar adanya suatu peritiwa tindak pidana. Lebih lanjutnya lagi Pasal 1 ayat ( 27 ) KUHAP secara definitif menyebutkan bahwa :

" Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang dia dengar sendiri, dia lihat sendiri, dan dia alami sendiri dengan menyebut alasan dan pengetahuannya itu "

Mengingat amar putusan Mahkamah Konstitusi ( MK ) Nomor : No 65/PUU-VIII/2010 yang pada intinya adalah menyatakan bahwa Pasal 1 ayat ( 26 ) dan ayat ( 27 ), Pasal 65, Pasal 116 ayat ( 3 ) dan ayat ( 4 ) serta Pasal 184 ayat ( 1 ) huruf ( a ) adalah bertentangan dengan Konstitusi atau Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kemudian dalam amar putusannya tersebut Mahkamah Konstitusi ( MK ) memberikan perihal definisi saksi dalam point pertama amar putusan tersebut, yang menyatakan bahwa saksi adalah :

" Orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri "

Jika kita cermati definisi saksi yang terdapat dalam Pasal 1 ayat ( 26 ) KUHAP dan definisi saksi yang telah direvisi oleh Mahmakah Konstitusi melalui putusannya Nomor 65/PUU-VIII/2010 terdapat perbedaan, jika dalam Pasal 1 ayat ( 26 ) KUHAP dinyatakan bahwa saksi adalah orang yang mendengar, melihat dan mengalami maka setelah direvisi oleh Mahkamah Konstitusi ketentuan tersebut ( Pasal 1 ayat ( 26 ) dan ayat ( 27 ) KUHAP ) seharusnya menjadi saksi adalah orang yang tidak selalu mendengar, melihat dan mengalami

Point kedua pada amar putusan Mahkamah Konstitusi ( MK ) Nomor 65/PUU-VIII/2010 secara tegas menyatakan bahwa definisi saksi yang tercantum dalam Pasal 1 ayat ( 26 ) dan ayat ( 27 ), Pasal 65, Pasal 116 ayat ( 3 ) dan ayat ( 4 ) serta Pasal 184 ayat ( 1 ) huruf ( a ) KUHAP adalah tidak mempunyai kekuatan hukum yang tetap apabila masih menggunakan definisi " saksi " sebagaimana yang terdapat dalam KUHAP. 

        Menurut pendapat saya pribadi, seharusnya revisi atas definisi " saksi " dapat dimasukkan dalam revisi Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan selanjutnya hasil revisi tersebut dapat dituangkan dalam Rancangan Undang-undang ( RUU ) KUHAP. Apabila ternyata sampai sekarang ( Februari 2018 ) masih belum juga disahkan RUU KUHAP tersebut, maka terhadap penerapan revisi " saksi " oleh putusan Mahkamah Konstitusi tersebut harus dapat dilaksanankan dengan sebaik-baiknya dalam proses penyidikan, penuntutan hingga proses persidangan.

Apabila definisi saksi yang terdapat didalam Pasal 1 ayat ( 26 ) dan ayat ( 27 ), Pasal 65, Pasal 116 ayat ( 3 ) dan ayat ( 4 ) serta Pasal 184 ayat ( 1 ) huruf ( a ) KUHAP sudah direvisi maka seharusnya juga berdampak pada landasan hukum formil hukum acara pidana lainnya seperti Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Saksi yang sebagaimana telah direvisi oleh putusan Mahkamah Konstitusi dengan frasa " tidak selalu mendengar, melihat dan mengalami " tidak sama halnya dengan saksi anak yang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat ( 5 ) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak :

" Anak yang menjadi saksi tindak pidana yang selanjutnya disebut anak saksi adalah anak yang belum berumur 18 ( delapanbelas ) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan sidang di pengadilan tentang suatu pidana yang didengar, dilihat dan/atau dialaminya sendiri "

      Maka dapat disimpulkan bahwa saksi ( dalam hal ini saksi dewasa ) dapat memberikan keterangan pada proses penyidikan, penuntutan dan proses persidangan yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat dan ia alami sesuai putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010.

Keterangan saksi tersebut terdiri dari :

a.Saksi yang memberatkan terdakwa ( a charge ),

b.Saksi yang meringankan terdakwa ( de charge ) yang merupakan hak terdakwa untuk menghadirkan saksi yang meringankan baginya sesuai Pasal 65 KUHAP yang telah direvisi oleh putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010, maka saksi de charge adalah saksi atau saksi ahli yang dapat memberikan keterangan pada proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di persidangan tentang suatu tindak pidana yang tidak selalu didengar, dilihat dan dialami.

c. Saksi yang mendengarkan ( testimonium de auditu ), yang dimaksud dengan saksi testimonium de auditu adalah saksi yang mendengar dari pembicaraan orang lain dan tidak mengetahui kebenaran tentang adanya suatu tindak pidana tertentu. Jadi saksi testimonium de auditu hanya sebatas mendengarkan saja tanpa mengetahui kebenaran dari suatu peristiwa yang didengarnya. Berkaitan dengan putusan Mahmakah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 yang menyatakan bahwa saksi tidak selalu mendengar, melihat dan mengalami suatu tindak pidana tertentu, maka eksistensi saksi testimonium de auditu ini sama sekali mempunyai kekuatan pembuktian yang lemah di persidangan. Hal ini juga dituangkan dan dijelaskan dalam Pasal 185 ayat ( 5 ) KUHAP yaitu keterangan saksi yang berasal dari opini pribadi saksi maka bukan merupakan suatu alat bukti yang sah.

Perlu di ingat bahwa dalah hal alat bukti keterangan saksi adalah tidak cukup hanya satu orang saksi saja, karena satu orang saksi tidak dianggap sebagai alat bukti yang sah ( ullus testis nullus testis ) yang diatur dalam Pasal 185 ayat ( 2 ) KUHAP dan Pasal 300 HIR.

Ad. 2. Keterangan Ahli


Keterangan ahli menurut ketentuan Pasal 1 ayat ( 28 ) KUHAP adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Yang disebut dengan ahli dalam hal pembuktian adalah dia seorang ahli kedokteran kehakiman, selain ahli kedokteran kehakiman  maka keterangan yang diberikan bukan keterangan ahli, melainkan hanya sebuah keterangan saja. Hal ini disebutkan dalam penjelasan Pasal 133 ayat ( 2 ) KUHAP yang menyatakan :

“ Keterangan yang diberikan oleh ahli kedokteran kehakiman disebut dengan keterangan ahli, sedangkan keterangan yang diberikan oleh dokter yang bukan ahli kedokteran kehakiman disebut dengan keterangan “

Jelas bahwa apa yang dimaksud dengan keterangan ahli yang didefinisikan di dalam Pasal 1 ayat ( 28 ) KUHAP adalah keterangan dari ahli kedokteran kehakiman. Ketentuan tersebut tidak serta merta dapat mengurangi keterangan yang diberikan oleh ahli selain ahli kedokteran kehakiman, dokter atau para pakar lain yang saling berkaitan dengan ilmu kriminologi dapat memberikan keterangannya dalam persidangan walaupun bukan sebagai keterangan ahli. Karena di dalam Pasal 179 ayat ( 1 ) KUHAP disebutkan bahwa setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan. Perbedaannya, jika keterangan yang diberikan oleh ahli kedokteran kehakiman adalah permintaan dari pihak penyidik untuk kepentingan peradilan ( Pasal 133 ayat ( 1 ) KUHAP ). Sedangkan keterangan dari ahli yang lainnya bukan merupakan suatu permintaan dari pihak penyidik, tetapi apabila perlu untuk mengetahui kebenaran dari suatu peristiwa pidana tertentu maka keterangan dari ahli lainnya wajib digunakan demi keadilan.

Dalam memberikan keterangan mengenai luka yang diderita korban, korban yang keracunan atau bahkan korban yang telah meninggal, maka atas permintaan penyidik ahli kedokteran kehakiman dapat memberikan sebuah laporan berupa visum et repertum atau mengenai kondisi korban tindak pidana kepada pihak penyidik, selanjutnya keterangan tersebut dapat digunakan sebagai alat bukti berupa keterangan ahli di persidangan. Apabila dalam persidangan penyidik atau penuntut umum tidak menyerahkan laporan tertulis dari ahli kedokteran kehakiman atau visum et repertum, maka menurut penjelasan atas Pasal 186 KUHAP keterangan ahli tersebut dapat diterima di persidangan secara lisan dan ditulis dalam berita acara pemeriksaan, dengan syarat ahli tersebut harus mengucapkan sumpah yang sebenar-benarnya sesuai kepercayaannya di depan hakim.

Ad. 3. Bukti Surat


Menurut pendapat saya, yang dimaksud dengan surat adalah segala bentuk dari hasil pemikiran seseorang yang menunjuk pada suatu peristiwa dan/atau kepentingan tertentu yang dituliskan di sebuah kertas atau dicetak menggunakan alat cetak. Sedangkan pendapat A. Pitlo mengenai surat adalah pembawa tanda tangan bacaan yang berarti, yang menerjemahkan isi pikiran yang tidak termasuk kata surat adalah foto dan peta, sebab benda ini tidak memuat tanda bacaan.
Lebih lanjutnya Pasal 187 KUHAP merumuskan definisi dan beberapa jenis bukti surat yaitu surat yang dibuat atas sumpah jabatan atau yang diperkuat dengan sumpah, antara lain :
a. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;
b. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya;
d. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

Ad. 4. Bukti Petunjuk


Petunjuk menurut ketentuan Pasal 188 ayat ( 1 ) KUHAP yaitu perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya baik antara satu dengan yang lainnya maupun dengan tindak pidana itu sendiri telah menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Sesuai ketentuan Pasal 188 ayat ( 2 ) petunjuk tersebut dapat diperoleh dari :

    a.      Keterangan saksi;
    b.      Surat, dan;
    c.       Keterangan terdakwa.

    Saya contohkan sebuah kasus pembunuhan ( 338 KUHP ) yang mempunyai suatu petunjuk mengenai persesuaian peristiwa dan keadaan yang saling berhubungan dalam suatu kejadian tindak pidana yang petunjuk tersebut hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa ( Pasal 188 ayat ( 2 ) KUHAP jo. Pasal 5 ayat ( 1 ) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik )

“ Pada  tanggal 05 Mei 2011 sekitar pukul 22.00 malam, si A hendak menginap di sebuah hotel. Si A menyewa satu kamar untuk menginap semalam di hotel tersebut, kamar si A terletak di lantai 3 ( tiga ) hotel tersebut, disamping kanannya ada kamar si B dan istrinya dan disamping kirinya ada kamar si C hanya sendiri dan disamping kamar si C ada kamar mandi hotel dengan jumlah ada 2 ( dua ) toilet pria dan 2 ( dua ) toilet wanita di kamar mandi hotel tersebut. Tanggal 06 Mei 2011, sekitar pukul 03.20 pagi si A hendak pergi ke toilet pria di kamar mandi hotel di samping kamar si C, si A mengetahui bahwa keran air pada toilet yang hendak digunakan oleh dia rusak, karena pada jam 03.20 pagi karyawan hotel sedang tidak berjaga maka si A tidak memberitahukan bahwa ada kerusakan keran di toilet pria yang hendak digunakan oleh si A, kemudian si A kembali ke kamarnya dan mengambil sebuah kunci ledeng dari tas ranselnya, A kembali ke toilet tersebut dengan membawa kunci ledeng untuk memperbaiki keran air yang rusak, kemudian sekitar pukul 03.45, si A kembali ke kamarnya dengan membawa kunci ledeng tersebut. Sekitar pukul 06.30 pagi saat hendak ke toilet pria, C kaget menemukan si B tewas dengan luka di kepala si B, atas kejadian tersebut si C langsung menghubungi petugas hotel yang sedang piket dan petugas hotel tersebut langsung memberitahu istri si B. Menurut keterangan istri B, bahwa benar sekitar pukul 03.30 pagi si B atau suaminya pergi ke kamar mandi, B atau suaminya tersebut sebelumnya sudah bilang ke istrinya bahwa si B hendak pergi ke kamar mandi, istri B mendengar perkataan B, namun istrinya hanya mengangguk karena sedang lelap tertidur. Kemudian atas permintaan istri B, pegawai hotel tersebut menunjukkan rekaman CCTV di lorong di dekat kamar mandi tersebut, di dalam kamar mandi hotel tersebut tidak ada CCTV. Terlihat di rekaman CCTV tersebut benar bahwa pukul 03.30 si B pergi ke kamar mandi, terlihat juga pukul 03.45 si A keluar dari kamar mandi dengan membawa sebuah kunci ledeng, namun di rekaman CCTV tersebut tidak nampak bahwa ada darah di kunci ledeng yang dibawa si A. Rekaman CCTV juga menunjukkan bahwa si A masuk ke kamar mandi pukul 03.20 pagi dengan membawa kunci ledeng. Sekitar pukul 08.00 pagi mayat B di evakuasi dari hotel menuju ke rumah sakit untuk kepentingan penyidikan oleh penyidik ( Kepolisian ). Kemudian pada tanggal 07 Mei 2011 sekitar pukul 10.00 pagi, ahli kedokteran kehakiman berhasil melakukan identifikasi terhadap mayat si B. Menurut hasil visum et repertum oleh ahli kedokteran kehakiman terhadap mayat si B, ahli kedokteran kehakiman menemukan fakta bahwa B meninggal kemarin pada tanggal 06 Mei 2011 dengan terdapat tanda pukulan benda keras di kepala si B hingga mengakibatkan si B meninggal dunia. Pada hari yang sama istri B memeriksa buku daftar kunjungan tamu di hotel tersebut, istri B menemukan fakta bahwa si A menginap di hotel tersebut dan menemukan keterangan bahwa si A check-in di hotel tersebut tanggal 05 Mei 2011 pukul 22.00 malam dan check-out tanggal 06 Mei 2011 pukul 06.00 pagi. Pada tanggal 12 Mei 2011 si A ditangkap oleh penyidik dan memberikan keterangan bahwa A memang benar menginap di hotel tersebut pada tanggal 05 Mei 2011, check-in pukul 22.00 malam dan check-out tanggal 06 Mei 2011 pukul 06.00 pagi, A menerangkan bahwa pekerjaannya adalah sebagai tukang pipa dan A juga menerangkan bahwa dia membawa kunci ledeng pada saat ke toilet hotel. “

Dari ilustrasi sederhana yang saya buat diatas, maka unsur-unsur petunjuk di dalam kasus tersebut meliputi :

    a.      Keterangan saksi

  1. -          Saksi 1 adalah C yang pertama mengetahui bahwa B meninggal di toilet hotel;
  2. -         Saksi 2 adalah istri si B ( dalam hal ini tetap menjadi alat bukti yang sah walaupun seorang istri dilarang menjadi seorang saksi bagi suaminya ( Pasal 168 huruf ( c ) KUHAP ) tetapi cermati frasa pertama Pasal 168 KUHAP, “ Kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini,.... “ keterangan saksi 1 sebagai istri korban sangat relevan sebagai bukti keterangan saksi yang sebagaimana diatur dalam Pasal 185 ayat ( 6 ) huruf ( a ), ( b ), ( c ) KUHAP, yaitu dengan adanya persesuaian antara saksi satu dengan saksi yang lain ( dalam hal ini sesuai dengan saksi C ) , persesuaian antara keterangan saksi dengan bukti lain ( bukti informasi elektronik berupa CCTV ), alasan yang mungkin dapat digunakan saksi untuk memberi keterangan tertentu.
  3.       Saksi yang mungkin dihadirkan oleh hotel yaitu pegawai hotel yang mengetahui bahwa A telah menginap di hotel tersebut;
  4.        Ullus testis nullus testis sudah terpenuhi.

      b.      Surat
-          Surat yaitu buku daftar kunjungan tamu atau mungkin kuitansi yang diberikan oleh pihak hotel kepada A. Surat ini termasuk di dalam Pasal 187 huruf ( d ) karena surat tersebut mempunyai isi dan saling berhubungan dengan alat bukti yang lain

      c.       Keterangan terdakwa
Terdakwa menyatakan kepada penyidik bahwa benar terdakwa menginap di hotel tersebut pada tanggal 05 Mei 2011, check-in pukul 22.00 malam dan check-out tanggal 06 Mei 2011 pukul 06.00 pagi, terdakwa menerangkan bahwa pekerjaannya adalah sebagai tukang pipa dan terdakwa juga menerangkan bahwa dia membawa kunci ledeng pada saat ke toilet hotel. Keterangan terdakwa tersebut sudah sesuai dengan ketentuan Pasal 189 ayat ( 1 ) KUHAP yaitu apa yang dinyatakan oleh terdakwa bahwa terdakwa mengetahui dan mengalami sendiri peristiwa tersebut.

Jika kita cermati, mengapa didalam suatu petunjuk tidak ada keterangan dari ahli, sekalipun itu ahli kedokteran kehakiman ? Saya secara pribadi telah mengerti apa yang telah disampaikan oleh M. Yahya Harahap, beliau mengatakan bahwa di dalam perolehan petunjuk tidak terdapat keterangan ahli, karena keterangan ahli tersebut kurang objektif terhadap suatu peristiwa tertentu. Manusiawi jika saya mengatakannya begitu karena ahli berpendapat juga seperti layaknya manusia lain sedikit berwarna subjektif, barangkali hal tersebut yang membuat para pembentuk KUHAP untuk tidak memasukkan keterangan ahli didalam suatu petunjuk, jika saja keterangan ahli dimasukkan dalam petunjuk maka sangat akan mudah untuk melakukan identifikasi atas suatu kasus tertentu. Saya berharap agar nantinya dalam RUU KUHAP terdapat keterangan ahli dan bukti elektronik sebagai suatu petunjuk.

Walaupun begitu, kekuatan pembuktian bukti petunjuk tetap didasarkan terhadap hati nurani hakim setelah mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan dengan arif lagi bijaksana.

Ad. 5. Keterangan Terdakwa


Pasal 189 ayat ( 1 ) KUHAP menyatakan bahwa keterangan terdakwa adalah segala apa yang dinyatakan oleh terdakwa  di persidangan mengenai perbuatan yang dia lakukan atau yang dia ketahui sendiri atau yang dia alami sendiri. Jika keterangan terdakwa tersebut diberikan di luar persidangan maka sesuai ketentuan Pasal 189 ayat ( 2 ) KUHAP keterangan terdakwa tersebut harus didukung oleh suatu alah bukti yang lain dan sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan untuk dirinya sendiri ( Pasal 189 ayat ( 3 ) KUHAP ). Keterangan terdakwa saja tanpa disertai alat bukti yang lain tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah melakukan suatu hal yang di dakwakan kepadanya ( Pasal 189 ayat ( 4 ) KUHAP )


C. Alat Bukti Informasi, Dokumen Elektronik dan Hasil Cetaknya ( Alat Bukti ITE )


Selain alat bukti yang terdapat dalam Pasal 184 ayat ( 1 ) KUHAP, alat bukti yang lain yang sah secara hukum juga disebutkan dalam Pasal 5 ayat ( 1 ) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ( ITE ) yaitu :

  1. Informasi Elektronik, dan/atau;
  2. Dokumen Elektronik, dan/atau;
  3. Hasil cetak dari Informasi dan Dokumen Elektronik.
Ketiga alat bukti yang terdapat dalam Pasal 5 ayat ( 1 ) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ( ITE ) merupakan bukti otentik yang sah dan dapat digunakan sebagai pembuktian di persidangan. Alat bukti elektronik tersebut merupakan perluasan alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP ( Pasal 5 ayat ( 2 ) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ( ITE ).
Namun tidak semua dokimen elektronik dan hasil cetaknya dapat digunakan sebagai alat bukti elektronik yang sah dan otentik ada beberapa dokumen dan informasi eletronik yang tidak berlaku sah sebagai alat bukti sesuai ketentuan Pasal 5 ayat ( 4 ) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ( ITE ), diantaranya :
  1. Surat yang menurut Undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis, yaitu meliputi tetapi tidak terbatas pada Surat Berharga, Surat Yang Berharga dan surat yang digunakan pada proses penegakan hukum acara pidana, acara perdata dan administrasi Negara;
  2. Surat beserta Dokumennya yang menurut Undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta notariil atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
Jika dicermati mengenai hal alat bukti antara peraturan perundang-undangan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elekttronik ( ITE ) adalah saling berkaitan satu sama lain, dan terhadap alat bukti yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidaklah berlaku azas lex posterior derogat legi priori yaitu peraturan perundang-undangan yang baru mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang lama.

DAFTAR PUSTAKA


Undang-undang :

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Transaksi dan Informasi        Elektronik.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana        Anak.

Putusan Mahkamah Konstitusi

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 tahun 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar