Pembuktian dan Alat Bukti Dalam Hukum Acara Pidana
A.
Pembuktian dalam hukum acara pidana
Pembuktian merupakan suatu unsur
terpenting dalam suatu acara pemeriksaan persidangan. Prinsip pembuktian
dalam hukum acara pidana adalah untuk mencari kebenaran materiil atau kebenaran
yang sesungguhnya atau kebenaran yang secara objektif digali dari objek-objek
yang berkaitan dengan suatu tindak pidana tertentu. Dalam hukum acara pidana
seorang hakim harus secara aktif menggali fakta-fakta yang ada didalam
persidangan, disini hakim tidak boleh terpengaruh apa yang didakwakan oleh
penuntut umum kepada terdakwa atau pembelaan yang dilakukan oleh penasihat
hukum terdakwa. Melainkan hakim harus aktif mencari kebenaran untuk memutus suatu
perkara berdasarkan pada pembuktian yang ada pada persidangan dengan penuh kearifan,
bijaksana dan tidak pandang bulu. Karena hakim juga berperan sebagai penegak
hukum maka juga harus menerapkan azas equality
before the law atau prinsip semua orang mempunyai kedudukan yang sama di
depan hukum.
Pembuktian pada acara persidangan
pidana ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 183 Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Acara Pidana atau yang lebih
familiar dikenal sebagai Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ).
Dalam Pasal 183 KUHAP ditentukan bahwa dalam menjatuhkan pidana terhadap
seorang terdakwa, hakim harus mempunyai paling sedikit 2 ( dua ) alat bukti
yang dapat meyakinkan seorang hakim bahwa dengan adanya minimal 2 ( dua ) alat
bukti tersebut hakim yakin bahwa terdakwa telah bersalah melakukan suatu tindak
pidana tertentu, apabila alat bukti tersebut kurang dari 2 ( dua ) maka hakim
tidak diperbolehkan menjatuhkan pidana terhadap seorang terdakwa. Kecuali dalam
suatu acara pemeriksaan cepat, maka hakim untuk menguatkan keyakinannya dapat
menunjuk hanya satu alat bukti ( Penjelasan Pasal 184 KUHAP ).
B.
Alat Bukti Yang Terdapat Dalam KUHAP
Sedangkan alat bukti yang dapat
menjadi suatu bukti yang sah dalam suatu acara persidangan pidana sesuai
ketentuan Pasal 184 ayat ( 1 ) KUHAP meliputi :
- Keterangan Saksi;
- Keterangan Ahli;
- Bukti Surat;
- Bukti Petunjuk, dan;
- Keterangan Terdakwa.
Ad. 1. Keterangan Saksi
Yang dimaksud dengan saksi adalah orang yang mengalami
sendiri, mengetahui, dan mendengar bahwa terdapat suatu peristiwa tindak pidana
dan atas pengetahuannya bahwa terdapat suatu peristiwa pidana kemudian saksi
tersebut dapat memberikan keterangan atas itu sebagai salah satu alat bukti
dalam persidangan. Pasal 1 ayat ( 26 ) KUHAP menjelaskan definisi saksi yaitu :
" Saksi adalah orang yang dapat memberikan
keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu
perkara pidana yang dia dengar sendiri, dia lihat
sendiri dan dia alami sendiri "
Sedangkan keterangan
saksi adalah segala keterangan yang diberikan oleh saksi yang mengalami
sendiri, mengetahui, dan mendengar adanya suatu peritiwa tindak pidana. Lebih lanjutnya
lagi Pasal 1 ayat ( 27 ) KUHAP secara definitif menyebutkan bahwa :
" Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang dia dengar sendiri, dia lihat sendiri, dan dia alami sendiri dengan menyebut alasan dan pengetahuannya itu "
Mengingat amar putusan
Mahkamah Konstitusi ( MK ) Nomor : No
65/PUU-VIII/2010 yang pada intinya adalah menyatakan bahwa Pasal 1
ayat ( 26 ) dan ayat ( 27 ), Pasal 65, Pasal 116 ayat ( 3 ) dan ayat ( 4 )
serta Pasal 184 ayat ( 1 ) huruf ( a ) adalah bertentangan dengan Konstitusi
atau Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kemudian
dalam amar putusannya tersebut Mahkamah Konstitusi ( MK ) memberikan perihal
definisi saksi dalam point pertama amar putusan
tersebut, yang menyatakan bahwa saksi adalah :
" Orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri "
Jika kita cermati definisi saksi yang terdapat dalam Pasal 1 ayat ( 26 ) KUHAP dan definisi saksi yang telah direvisi oleh Mahmakah Konstitusi melalui putusannya Nomor 65/PUU-VIII/2010 terdapat perbedaan, jika dalam Pasal 1 ayat ( 26 ) KUHAP dinyatakan bahwa saksi adalah orang yang mendengar, melihat dan mengalami maka setelah direvisi oleh Mahkamah Konstitusi ketentuan tersebut ( Pasal 1 ayat ( 26 ) dan ayat ( 27 ) KUHAP ) seharusnya menjadi saksi adalah orang yang tidak selalu mendengar, melihat dan mengalami.
Point
kedua pada amar putusan Mahkamah Konstitusi ( MK ) Nomor 65/PUU-VIII/2010
secara tegas menyatakan bahwa definisi saksi yang tercantum dalam Pasal 1 ayat
( 26 ) dan ayat ( 27 ), Pasal 65, Pasal 116 ayat ( 3 ) dan ayat ( 4 ) serta
Pasal 184 ayat ( 1 ) huruf ( a ) KUHAP adalah tidak mempunyai kekuatan
hukum yang tetap apabila masih menggunakan definisi " saksi "
sebagaimana yang terdapat dalam KUHAP.
Menurut pendapat saya
pribadi, seharusnya revisi atas definisi " saksi "
dapat dimasukkan dalam revisi Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana dan selanjutnya hasil revisi tersebut dapat dituangkan dalam
Rancangan Undang-undang ( RUU ) KUHAP. Apabila ternyata sampai sekarang (
Februari 2018 ) masih belum juga disahkan RUU KUHAP tersebut, maka terhadap
penerapan revisi " saksi " oleh putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut harus dapat dilaksanankan dengan sebaik-baiknya dalam
proses penyidikan, penuntutan hingga proses persidangan.
Apabila
definisi saksi yang terdapat didalam Pasal 1 ayat ( 26 ) dan ayat ( 27 ), Pasal
65, Pasal 116 ayat ( 3 ) dan ayat ( 4 ) serta Pasal 184 ayat ( 1 ) huruf ( a )
KUHAP sudah direvisi maka seharusnya juga berdampak pada landasan hukum formil
hukum acara pidana lainnya seperti Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak. Saksi yang sebagaimana telah direvisi oleh
putusan Mahkamah Konstitusi dengan frasa " tidak selalu mendengar,
melihat dan mengalami " tidak sama halnya dengan saksi anak yang
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat ( 5 ) Undang-undang Nomor 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak :
" Anak yang menjadi saksi tindak pidana yang selanjutnya disebut anak saksi adalah anak yang belum berumur 18 ( delapanbelas ) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan sidang di pengadilan tentang suatu pidana yang didengar, dilihat dan/atau dialaminya sendiri "
Maka dapat disimpulkan bahwa saksi ( dalam hal ini saksi dewasa ) dapat memberikan keterangan pada proses penyidikan, penuntutan dan proses persidangan yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat dan ia alami sesuai putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010.
Keterangan saksi tersebut terdiri dari :
a.Saksi yang memberatkan terdakwa ( a charge ),
b.Saksi yang meringankan terdakwa ( de
charge ) yang merupakan hak
terdakwa untuk menghadirkan saksi yang meringankan baginya sesuai Pasal 65
KUHAP yang telah direvisi oleh putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 65/PUU-VIII/2010, maka saksi de charge adalah saksi
atau saksi ahli yang dapat memberikan keterangan pada proses penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan di persidangan tentang suatu tindak pidana yang
tidak selalu didengar, dilihat dan dialami.
c. Saksi yang mendengarkan ( testimonium de auditu ),
yang dimaksud dengan saksi testimonium de
auditu adalah saksi yang mendengar dari pembicaraan orang lain dan tidak
mengetahui kebenaran tentang adanya suatu tindak pidana tertentu. Jadi saksi testimonium de auditu hanya sebatas
mendengarkan saja tanpa mengetahui kebenaran dari suatu peristiwa yang
didengarnya. Berkaitan dengan putusan Mahmakah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010
yang menyatakan bahwa saksi tidak selalu mendengar, melihat dan mengalami suatu
tindak pidana tertentu, maka eksistensi saksi testimonium de auditu ini
sama sekali mempunyai kekuatan pembuktian yang lemah di persidangan. Hal ini
juga dituangkan dan dijelaskan dalam Pasal 185 ayat ( 5 ) KUHAP yaitu
keterangan saksi yang berasal dari opini pribadi saksi maka bukan merupakan
suatu alat bukti yang sah.
Perlu di ingat bahwa dalah hal alat bukti keterangan saksi adalah tidak cukup hanya satu orang saksi saja, karena satu orang saksi tidak dianggap sebagai alat bukti yang sah ( ullus testis nullus testis ) yang diatur dalam Pasal 185 ayat ( 2 ) KUHAP dan Pasal 300 HIR.
Ad. 2. Keterangan Ahli
Keterangan ahli menurut ketentuan Pasal 1 ayat ( 28 ) KUHAP adalah keterangan
yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang
diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan
pemeriksaan. Yang disebut dengan ahli dalam hal pembuktian adalah dia seorang
ahli kedokteran kehakiman, selain ahli kedokteran kehakiman maka keterangan yang diberikan bukan
keterangan ahli, melainkan hanya sebuah keterangan saja. Hal ini disebutkan
dalam penjelasan Pasal 133 ayat ( 2 ) KUHAP yang menyatakan :
“ Keterangan yang diberikan oleh
ahli kedokteran kehakiman disebut dengan keterangan ahli, sedangkan keterangan
yang diberikan oleh dokter yang bukan ahli kedokteran kehakiman disebut dengan
keterangan “
Jelas bahwa apa yang
dimaksud dengan keterangan ahli yang didefinisikan di dalam Pasal 1 ayat ( 28 )
KUHAP adalah keterangan dari ahli kedokteran kehakiman. Ketentuan tersebut
tidak serta merta dapat mengurangi keterangan yang diberikan oleh ahli selain ahli
kedokteran kehakiman, dokter atau para pakar lain yang saling berkaitan dengan
ilmu kriminologi dapat memberikan keterangannya dalam persidangan walaupun
bukan sebagai keterangan ahli. Karena di dalam Pasal 179 ayat ( 1 ) KUHAP
disebutkan bahwa setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran
kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli
demi keadilan. Perbedaannya, jika keterangan yang diberikan oleh ahli
kedokteran kehakiman adalah permintaan dari pihak penyidik untuk kepentingan
peradilan ( Pasal 133 ayat ( 1 ) KUHAP ). Sedangkan keterangan dari ahli yang
lainnya bukan merupakan suatu permintaan dari pihak penyidik, tetapi apabila
perlu untuk mengetahui kebenaran dari suatu peristiwa pidana tertentu maka
keterangan dari ahli lainnya wajib digunakan demi keadilan.
Dalam memberikan keterangan
mengenai luka yang diderita korban, korban yang keracunan atau bahkan korban
yang telah meninggal, maka atas permintaan penyidik ahli kedokteran kehakiman
dapat memberikan sebuah laporan berupa visum
et repertum atau mengenai kondisi korban tindak pidana kepada pihak
penyidik, selanjutnya keterangan tersebut dapat digunakan sebagai alat bukti
berupa keterangan ahli di persidangan. Apabila dalam persidangan penyidik atau
penuntut umum tidak menyerahkan laporan tertulis dari ahli kedokteran kehakiman
atau visum et repertum, maka menurut
penjelasan atas Pasal 186 KUHAP keterangan ahli tersebut dapat diterima di
persidangan secara lisan dan ditulis dalam berita acara pemeriksaan, dengan
syarat ahli tersebut harus mengucapkan sumpah yang sebenar-benarnya sesuai
kepercayaannya di depan hakim.
Ad. 3. Bukti Surat
Menurut pendapat saya, yang
dimaksud dengan surat adalah segala bentuk dari hasil pemikiran seseorang yang
menunjuk pada suatu peristiwa dan/atau kepentingan tertentu yang dituliskan di
sebuah kertas atau dicetak menggunakan alat cetak. Sedangkan pendapat A. Pitlo
mengenai surat adalah pembawa tanda tangan bacaan yang berarti, yang
menerjemahkan isi pikiran yang tidak termasuk kata surat adalah foto dan peta,
sebab benda ini tidak memuat tanda bacaan.
Lebih lanjutnya Pasal 187
KUHAP merumuskan definisi dan beberapa jenis bukti surat yaitu surat yang
dibuat atas sumpah jabatan atau yang diperkuat dengan sumpah, antara lain :
a. berita acara dan surat lain
dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang
dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang
didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang
jelas dan tegas tentang keterangannya itu;
b. surat yang dibuat menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai
hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan
bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
c. surat keterangan dari seorang
ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau
sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya;
d. surat lain yang hanya dapat
berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
Ad. 4. Bukti Petunjuk
Petunjuk
menurut ketentuan Pasal 188 ayat ( 1 )
KUHAP yaitu perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya baik
antara satu dengan yang lainnya maupun dengan tindak pidana itu sendiri telah
menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
Sesuai ketentuan Pasal 188 ayat ( 2 )
petunjuk tersebut dapat diperoleh dari :
a.
Keterangan
saksi;
b.
Surat,
dan;
c.
Keterangan
terdakwa.
Saya
contohkan sebuah kasus pembunuhan ( 338 KUHP ) yang mempunyai suatu petunjuk
mengenai persesuaian peristiwa dan keadaan yang saling berhubungan dalam suatu
kejadian tindak pidana yang petunjuk tersebut hanya dapat diperoleh dari
keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa ( Pasal 188 ayat ( 2 ) KUHAP jo. Pasal 5 ayat ( 1 ) Undang-undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik )
“ Pada tanggal 05 Mei 2011 sekitar pukul 22.00
malam, si A hendak menginap di sebuah hotel. Si A menyewa satu kamar untuk
menginap semalam di hotel tersebut, kamar si A terletak di lantai 3 ( tiga )
hotel tersebut, disamping kanannya ada kamar si B dan istrinya dan disamping
kirinya ada kamar si C hanya sendiri dan disamping kamar si C ada kamar mandi
hotel dengan jumlah ada 2 ( dua ) toilet pria dan 2 ( dua ) toilet wanita di
kamar mandi hotel tersebut. Tanggal 06 Mei 2011, sekitar pukul 03.20 pagi si A
hendak pergi ke toilet pria di kamar mandi hotel di samping kamar si C, si A
mengetahui bahwa keran air pada toilet yang hendak digunakan oleh dia rusak,
karena pada jam 03.20 pagi karyawan hotel sedang tidak berjaga maka si A tidak
memberitahukan bahwa ada kerusakan keran di toilet pria yang hendak digunakan
oleh si A, kemudian si A kembali ke kamarnya dan mengambil sebuah kunci ledeng
dari tas ranselnya, A kembali ke toilet tersebut dengan membawa kunci ledeng
untuk memperbaiki keran air yang rusak, kemudian sekitar pukul 03.45, si A
kembali ke kamarnya dengan membawa kunci ledeng tersebut. Sekitar pukul 06.30
pagi saat hendak ke toilet pria, C kaget
menemukan si B tewas dengan luka di kepala si B, atas kejadian tersebut si
C langsung menghubungi petugas hotel yang sedang piket dan petugas hotel
tersebut langsung memberitahu istri si B. Menurut keterangan istri B, bahwa benar sekitar pukul 03.30 pagi si B atau
suaminya pergi ke kamar mandi, B atau suaminya tersebut sebelumnya sudah bilang
ke istrinya bahwa si B hendak pergi ke kamar mandi, istri B mendengar perkataan
B, namun istrinya hanya mengangguk karena sedang lelap tertidur. Kemudian atas
permintaan istri B, pegawai hotel tersebut menunjukkan rekaman CCTV di lorong di dekat kamar mandi tersebut, di dalam kamar
mandi hotel tersebut tidak ada CCTV. Terlihat di rekaman CCTV tersebut benar
bahwa pukul 03.30 si B pergi ke kamar mandi, terlihat juga pukul 03.45 si A
keluar dari kamar mandi dengan membawa sebuah kunci ledeng, namun di rekaman
CCTV tersebut tidak nampak bahwa ada darah di kunci ledeng yang dibawa si A.
Rekaman CCTV juga menunjukkan bahwa si A masuk ke kamar mandi pukul 03.20 pagi
dengan membawa kunci ledeng. Sekitar pukul 08.00 pagi mayat B di evakuasi dari
hotel menuju ke rumah sakit untuk kepentingan penyidikan oleh penyidik (
Kepolisian ). Kemudian pada tanggal 07 Mei 2011 sekitar pukul 10.00 pagi, ahli
kedokteran kehakiman berhasil melakukan identifikasi terhadap mayat si B.
Menurut hasil visum et repertum oleh ahli kedokteran kehakiman terhadap mayat
si B, ahli kedokteran kehakiman menemukan fakta bahwa B meninggal kemarin pada
tanggal 06 Mei 2011 dengan terdapat tanda pukulan benda keras di kepala si B
hingga mengakibatkan si B meninggal dunia. Pada hari yang sama istri B
memeriksa buku daftar kunjungan tamu
di hotel tersebut, istri B menemukan fakta bahwa si A menginap di hotel
tersebut dan menemukan keterangan bahwa si A check-in di hotel tersebut tanggal
05 Mei 2011 pukul 22.00 malam dan check-out tanggal 06 Mei 2011 pukul 06.00
pagi. Pada tanggal 12 Mei 2011 si A ditangkap oleh penyidik dan memberikan keterangan bahwa A memang
benar menginap di hotel tersebut pada tanggal 05 Mei 2011, check-in pukul 22.00
malam dan check-out tanggal 06 Mei 2011 pukul 06.00 pagi, A menerangkan bahwa
pekerjaannya adalah sebagai tukang pipa dan A juga menerangkan bahwa dia
membawa kunci ledeng pada saat ke toilet hotel. “
Dari
ilustrasi sederhana yang saya buat diatas, maka unsur-unsur petunjuk di dalam kasus tersebut meliputi :
a.
Keterangan
saksi
- - Saksi 1 adalah C yang pertama mengetahui bahwa B meninggal di toilet hotel;
- - Saksi 2 adalah istri si B ( dalam hal ini tetap menjadi alat bukti yang sah walaupun seorang istri dilarang menjadi seorang saksi bagi suaminya ( Pasal 168 huruf ( c ) KUHAP ) tetapi cermati frasa pertama Pasal 168 KUHAP, “ Kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini,.... “ keterangan saksi 1 sebagai istri korban sangat relevan sebagai bukti keterangan saksi yang sebagaimana diatur dalam Pasal 185 ayat ( 6 ) huruf ( a ), ( b ), ( c ) KUHAP, yaitu dengan adanya persesuaian antara saksi satu dengan saksi yang lain ( dalam hal ini sesuai dengan saksi C ) , persesuaian antara keterangan saksi dengan bukti lain ( bukti informasi elektronik berupa CCTV ), alasan yang mungkin dapat digunakan saksi untuk memberi keterangan tertentu.
- Saksi yang mungkin dihadirkan oleh hotel yaitu pegawai hotel yang mengetahui bahwa A telah menginap di hotel tersebut;
- Ullus testis nullus testis sudah terpenuhi.
b.
Surat
-
Surat yaitu buku daftar kunjungan tamu atau
mungkin kuitansi yang diberikan oleh pihak hotel kepada A. Surat ini termasuk di
dalam Pasal 187 huruf ( d ) karena surat tersebut mempunyai isi dan saling
berhubungan dengan alat bukti yang lain
c.
Keterangan
terdakwa
Terdakwa menyatakan kepada penyidik
bahwa benar terdakwa menginap di hotel tersebut pada tanggal 05 Mei 2011,
check-in pukul 22.00 malam dan check-out tanggal 06 Mei 2011 pukul 06.00 pagi, terdakwa
menerangkan bahwa pekerjaannya adalah sebagai tukang pipa dan terdakwa juga
menerangkan bahwa dia membawa kunci ledeng pada saat ke toilet hotel.
Keterangan terdakwa tersebut sudah sesuai dengan ketentuan Pasal 189 ayat ( 1 )
KUHAP yaitu apa yang dinyatakan oleh terdakwa bahwa terdakwa mengetahui dan
mengalami sendiri peristiwa tersebut.
Jika
kita cermati, mengapa didalam suatu petunjuk tidak ada keterangan dari ahli,
sekalipun itu ahli kedokteran kehakiman ? Saya secara pribadi telah mengerti
apa yang telah disampaikan oleh M. Yahya Harahap, beliau mengatakan bahwa di
dalam perolehan petunjuk tidak terdapat keterangan ahli, karena keterangan ahli
tersebut kurang objektif terhadap suatu peristiwa tertentu. Manusiawi jika saya
mengatakannya begitu karena ahli berpendapat juga seperti layaknya manusia lain
sedikit berwarna subjektif, barangkali hal tersebut yang membuat para pembentuk
KUHAP untuk tidak memasukkan keterangan ahli didalam suatu petunjuk, jika saja
keterangan ahli dimasukkan dalam petunjuk maka sangat akan mudah untuk
melakukan identifikasi atas suatu kasus tertentu. Saya berharap agar nantinya dalam RUU KUHAP terdapat keterangan ahli
dan bukti elektronik sebagai suatu petunjuk.
Walaupun begitu, kekuatan pembuktian bukti petunjuk
tetap didasarkan terhadap hati nurani hakim setelah mengadakan pemeriksaan
dengan penuh kecermatan dan keseksamaan dengan arif lagi bijaksana.
Ad. 5. Keterangan Terdakwa
Pasal 189 ayat ( 1 ) KUHAP
menyatakan bahwa keterangan terdakwa adalah segala apa yang dinyatakan oleh
terdakwa di persidangan mengenai
perbuatan yang dia lakukan atau yang dia ketahui sendiri atau yang dia alami
sendiri. Jika keterangan terdakwa tersebut diberikan di luar persidangan maka
sesuai ketentuan Pasal 189 ayat ( 2 ) KUHAP keterangan terdakwa tersebut harus
didukung oleh suatu alah bukti yang lain dan sah sepanjang mengenai hal yang
didakwakan kepadanya. Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan untuk dirinya
sendiri ( Pasal 189 ayat ( 3 ) KUHAP ). Keterangan terdakwa saja tanpa disertai
alat bukti yang lain tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah
melakukan suatu hal yang di dakwakan kepadanya ( Pasal 189 ayat ( 4 ) KUHAP )
C. Alat Bukti Informasi, Dokumen Elektronik dan Hasil Cetaknya ( Alat Bukti ITE )
Selain alat bukti yang terdapat
dalam Pasal 184 ayat ( 1 ) KUHAP, alat bukti yang lain yang sah
secara hukum juga disebutkan dalam Pasal 5 ayat ( 1 ) Undang-undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ( ITE ) yaitu
:
- Informasi Elektronik, dan/atau;
- Dokumen Elektronik, dan/atau;
- Hasil cetak dari Informasi dan Dokumen
Elektronik.
Ketiga alat bukti yang terdapat
dalam Pasal 5 ayat ( 1 ) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik ( ITE ) merupakan bukti otentik
yang sah dan dapat digunakan sebagai pembuktian di persidangan. Alat bukti
elektronik tersebut merupakan perluasan alat bukti yang diatur dalam Pasal
184 KUHAP ( Pasal 5 ayat ( 2 ) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik ( ITE ).
Namun tidak semua dokimen elektronik dan
hasil cetaknya dapat digunakan sebagai alat bukti elektronik yang sah dan
otentik ada beberapa dokumen dan informasi eletronik yang tidak berlaku
sah sebagai alat bukti sesuai ketentuan Pasal 5 ayat ( 4 ) Undang-undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ( ITE ), diantaranya
:
- Surat yang menurut Undang-undang harus dibuat
dalam bentuk tertulis, yaitu meliputi tetapi tidak terbatas
pada Surat Berharga, Surat Yang Berharga dan surat yang digunakan
pada proses penegakan hukum acara pidana, acara perdata dan administrasi
Negara;
- Surat beserta Dokumennya yang menurut
Undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta notariil atau akta yang
dibuat oleh pejabat pembuat akta.
Jika dicermati mengenai hal alat bukti
antara peraturan perundang-undangan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elekttronik ( ITE ) adalah saling berkaitan satu sama lain, dan
terhadap alat bukti yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana tidaklah berlaku azas lex posterior derogat
legi priori yaitu peraturan perundang-undangan yang baru
mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang lama.
DAFTAR PUSTAKA
Undang-undang :
Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Transaksi dan Informasi Elektronik.
Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 tahun
2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar