Pembuktian dan Alat Bukti dalam hukum Acara Perdata
A.
Pembuktian
dalam hukum acara perdata
Berbeda
dengan hukum acara pidana yang sudah menggunakan produk hukum nasional yaitu
Undang-undang Nomor 08 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, landasan hukum
acara perdata masih menggunakan produk hukum kolonial Belanda yang sampai saat
ini belum diperbaharui dan masih digunakan yaitu Herzien Indlandsch Reglement ( HIR ) Staatsblaad 44 – 1941 untuk wilayah Jawa dan Madura serta Reglement Voor Buiten Gewesten ( RbG )
untuk wilayah di luar Jawa dan Madura. Landasan hukum acara perdata antara Jawa
– Madura dan luar Jawa – Madura memang berbeda hal itu sudah berlaku sejak
zaman kolonialisme berkuasa hingga saat ini tanpa ada perubahan sama sekali
sejak terakhir direvisinya kembali HIR pada tahun 1941, walaupun landasan hukum
acara perdata antara HIR dan RbG berbeda, namun substansi muatan yang ada
didalamnya sebenarnya sama saja, terutama dalam hal pembuktian dan alat bukti
dalam persidangan perdata. Perihal pembuktian perdata juga dapat ditemukan
dalam buku ke – IV Burgerlijk Wetboek atau
Kitab Undang-undang Hukum Perdata tentang pembuktian dan daluwarsa. Hal ini
berarti buku ke – IV BW merupakan salah satu landasan formil hukum acara
perdata.
Sebelumnya
saya juga sudah membahas mengenai pembuktian dan alat bukti dalam hukum acara
pidana ( baca juga : Pembuktian dan Alat Bukti Dalam Hukum Acara Pidana ).
Jika dalam hukum acara pidana yang dicari adalah kebenaran yang sejati atau kebenaran materiil atau kebenaran yang objektif karena menempatkan keterangan saksi sebagai alat bukti yang pertama, maka berbeda dalam pembuktian dalam hukum perdata, yang dicari dalam pembuktian hukum acara perdata adalah kebenaran formil-nya atau kebenaran subjektif dikarenakan kebenaran tersebut adalah berasal dari para pihak yang berperkara dan harus dibuktikan pula dari para pihak yang berperkara. Jadi apa yang dikemukakan oleh para pihak yang berperkara baik itu penggugat maupun tergugat di dalam persidangan harus digali fakta-fakta kebenaran bahwa apa yang dikatakan oleh para pihak itu benar adanya, maka dari itu hakim tidak perlu bersusah payah untuk mencari kebenaran dan keadilan yang seperti tercantum dalam peraturan perundang-undangan layaknya hukum acara pidana, melainkan disini ( hukum acara perdata ) hakim hanya bersifat pasif dalam menentukan putusan, yang dimana putusan tersebut dipertimbangkan atas suatu kebenaran dari fakta-fakta yang dikemukakan oleh para pihak.
Jika dalam hukum acara pidana yang dicari adalah kebenaran yang sejati atau kebenaran materiil atau kebenaran yang objektif karena menempatkan keterangan saksi sebagai alat bukti yang pertama, maka berbeda dalam pembuktian dalam hukum perdata, yang dicari dalam pembuktian hukum acara perdata adalah kebenaran formil-nya atau kebenaran subjektif dikarenakan kebenaran tersebut adalah berasal dari para pihak yang berperkara dan harus dibuktikan pula dari para pihak yang berperkara. Jadi apa yang dikemukakan oleh para pihak yang berperkara baik itu penggugat maupun tergugat di dalam persidangan harus digali fakta-fakta kebenaran bahwa apa yang dikatakan oleh para pihak itu benar adanya, maka dari itu hakim tidak perlu bersusah payah untuk mencari kebenaran dan keadilan yang seperti tercantum dalam peraturan perundang-undangan layaknya hukum acara pidana, melainkan disini ( hukum acara perdata ) hakim hanya bersifat pasif dalam menentukan putusan, yang dimana putusan tersebut dipertimbangkan atas suatu kebenaran dari fakta-fakta yang dikemukakan oleh para pihak.
Fakta
tersebut kemudian digali kebenarannya melalui proses pembuktian dengan
menggunakan alat bukti. Prinsip pembuktian dalam hukum acara perdata adalah “ barangsiapa yang mengakui suatu hak atau
menyatakan suatu kejadian untuk meneguhkan hak tersebut atau untuk membantah
hak orang lain harus membuktikan adanya hak atau kejadian tersebut “ (
Pasal 163 HIR vide Pasal 1865 BW ). Jadi
pada prinsipnya inti daripada proses pembuktian pada persidangan yaitu “ barangsiapa yang mendalilkan maka dia
harus membuktikan dalilnya tersebut ( affirmandi
incumbit probatio ) “.
Para
pihak yang berperkara disebut dengan pihak penggugat dan tergugat. Penggugat adalah setiap orang ( persoon ) atau badan hukum ( rechtpersoon ) yang mempunyai kepentingan terhadap tergugat dikarenakan ada hak-hak penggugat yang dilanggar atau ada kewajiban yang belum dipenuhi oleh tergugat. Sedangkan tergugat adalah setiap orang ( persoon ) atau badan hukum ( rechtpersoon ) yang digugat dan dihadapkan di sidang pengadilan oleh penggugat untuk dapat memenuhi hak atau kewajiban tergugat kepada penggugat. Kepentingan
yang dimiliki oleh penggugat biasanya dituangkan dalam sebuah posita
/ fundamentum petendi, posita /
fundamentum petendi adalah dalil yang tertulis yang menjadi dasar bagi
penggugat untuk melakukan gugatan. Posita
gugatan biasanya terdiri dari alasan yang dikemukakan oleh penggugat, kenapa
penggugat menggugat tergugat ? alasan tersebut harus dituangkan ke dalam posita, maka dari itu substansi posita adalah menunjuk pada suatu
kejadian tertentu atau tentang duduknya perkara yang harus memuat fakta-fakta
yang sebenarnya dari suatu kejadian dan disebutkan pula dasar hukumnya yang
terdapat dalam posita tersebut,
apakah tentang wanprestasi ( Pasal 1238 BW ) atau tentang perbuatan melawan
hukum / onrecht matige daads ( Pasal
1365 BW ) semua alasan penggugat, dalilnya, fakta kejadian perkaranya dan
dasar hukumnya harus diuraikan secara jelas dan detail dalam posita.
![]() |
(Gambar 1. Contoh posita dalam putusan Pengadilan )
Tujuan kenapa penggugat membuat gugatan dan
melakukan gugatan adalah untuk menegaskan sesuatu hak yang seharusnya menjadi
milik penggugat yang sekarang mungkin berada di pihak tergugat. Jika penggugat
sudah mempunyai sesuatu apa yang seharusnya menjadi haknya, kenapa penggugat
harus repot-repot melakukan gugatan ? maka dari itu affirmandi incumbit probatio, barangsiapa yang mendalilkan bahwa
dia mempunyai suatu hak maka dia harus membuktikan dalil tersebut. Penggugat
mendalilkan bahwa ia berhak atas sesuatu yang harusnya milik dia yang sekarang
mungkin belum dipenuhi oleh tergugat, maka penggugat harus berani membuktikan
hal tersebut di persidangan pada proses pembuktian. Proses pembuktian inilah
yang nantinya akan mempengaruhi putusan hakim. Kemungkinan, pihak yang
mempunyai bukti yang paling kuat itulah yang akan memenangkan persidangan. Jadi
dalam proses persidangan perdata, kebenaran tersebut berasal dari bukti-bukti
yang diajukan oleh para pihak yang berperkara dan hakim benar-benar pasif untuk
mencari kebenarannya, karena yang menentukan benar atau tidaknya suatu perkara
didasarkan oleh kekuatan pembuktian masing-masing pihak, maka dari itu
pencarian kebenaran dalam hukum acara perdata sangat subjektif sekali.
Tetapi tidaklah perlu semua hal perlu dibuktikan
dalam persidangan, yang perlu dibuktikan
hanyalah kejadian yang tidak mendapat persetujuan oleh penggugat dan tergugat.
Inilah yang biasanya disebut dengan prinsip pembagian beban pembuktian artinya kedua belah pihak harus mendapat
porsi yang sama dalam proses pembuktian dan tidak diperkenankan berat sebelah.
Seperti pada halnya pembacaan gugatan oleh penggugat kemudian tergugat
menjawabnya dengan jawaban, kemudian penggugat diberi kesempatan untuk
menjawabnya dengan replik dan tergugat menjawab replik dengan duplik ( proses
jawab-jinawab ) sebelum melangkah ke proses pembuktian. Di dalam pembuktian pun
penggugat dan tergugat harus mendapat porsi yang sama seperti pada proses sebelumnya
agar prinsip pembagian beban pembuktian ini dapat ter-implementasi dengan baik.
Artinya dalam proses persidangan perdata para pihak yang berperkara selalu
mendapat jatah yang sama dengan perbandingan 50 : 50 antara penggugat dan
tergugat, hal itu dimaksudkan agar prinsip equality
before the law atau kesamaan kedudukan di depan hukum dapat tercapai dengan
baik dengan mengedepankan prinsip kemanusiaan dan keadilan.
B.
Alat
bukti hukum acara perdata
Barangsiapa yang mendalilkan bahwa dia mempunyai
hak, atau untuk meneguhkan haknya sendiri maupun membantah hak orang lain dan
menunjuk pada suatu peristiwa maka dia harus membuktikan. Pembuktian yang
hendak dilakukan oleh para pihak yang berperkara harus dikuatkan oleh alat
bukti, macam alat bukti dalam hukum acara perdata disebutkan dalam Pasal 164
HIR vide Pasal 1866 BW, yaitu :
1.
Bukti
surat;
2.
Bukti
saksi;
3.
Persangkaan;
4.
Pengakuan,
dan;
5.
Sumpah
Ad. 1. Bukti surat
Bukti surat yang dapat diajukan sebagai alat bukti
yang sah dibagi menjadi 2 ( dua ) oleh Pasal 1867 BW yaitu :
a.
Akta
otentik
Akta
otentik adalah suatu akta yang bentuk dan formatnya diatur oleh Undang-undang
yang dibuat oleh atau dihadapan pegawai umum yang berkuasa atas itu ditempat
mana akta tersebut dibuat ( Pasal 1868 BW ), sedangkan definisi akta otentik
menurut Pasal 165 HIR adalah surat yang dibuat oleh atau dihadapan pegawai umum
yang mempunyai kewenangan untuk membuatnya dan menjadi bukti yang cukup bagi
kedua belah pihak dan ahli waris masing-masing serta sekalian orang yang
mendapat hak darinya tentang segala hal yang tersebut dalam akta itu dan segala
sesuatu yang tercantum dalam surat itu sebagai suatu pemberitahuan tetapi yang
tersebut terakhir ini hanya sekedar yang diberitahukan menyangkut dengan pokok
daripada akta tersebut.
Contoh akta otentik adalah akta yang
dibuat oleh dan atau dihadapan seorang Notaris yang mempunyai kewenangan untuk
membuat suatu akta otentik ( Pasal 1 ayat ( 1 ) Undang-undang Nomor 30 Tahun
2004 tentang Jabatan Notaris ) akta yang dibuat oleh seorang Notaris tersebut
selanjutnya disebut sebagai akta Notaris ( Pasal 1 ayat ( 7 ) Undang-undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris ).
Pasal 1869 BW menyatakan bahwa apabila
akta otentik yang dibuat oleh pegawai yang berwenang untuk itu ternyata tidak
memenuhi syarat materiil atau bentuknya cacat atau tidak terpenuhinya salah
satu syarat yang tersebut dalam Pasal 38 ayat ( 1 ), ( 2 ), ( 3 ) dan ( 4 )
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris maka tidak dapat
diberlakukan sebagai suatu akta otentik, melainkan hanya berlaku sebagai akta
dibawah tangan apabila ditanda-tangani oleh para pihak yang bersangkutan.
Apabila surat otentik tersebut digunakan
sebagai alat bukti di persidangan dan ada salah satu pihak yang berperkara
menyatakan bahwa akta tersebut adalah palsu, maka sesuai dengan prinsip
pembuktian ( Pasal 163 HIR vide Pasal
1865 BW ) harus membuktikan bahwa akta tersebut adalah palsu ( Pasal 1872 BW ).
b.
Akta
dibawah tangan
Definisi
akta dibawah tangan apabila kita cari di dalam HIR maka tidak akan ditemukan
definisinya, Pasal 1874 BW menyebutkan yang dapat dikatakan sebagai akta
dibawah tangan adalah surat-surat, register-register, surat-surat urusan rumah
tangga dan surat-surat yang lain yang dibuat tanpa perantara seorang pegawai
umum. Pasal 1874 ayat ( 2 ) BW dan Pasal 1874a BW menyatakan bahwa suatu akta
dibawah tangan dapat dilakukan legalisasi dihadapan seorang pegawai umum.
Kekuatan pembuktian akta ( baik
akta otentik maupun akta dibawah tangan ) seperti yang disebutkan dalam Pasal
1888 ayat ( 1 ) BW adalah ada pada akta
yang aslinya, artinya jika akta yang digunakan
sebagai alat bukti tersebut hanya sebuah akta salinan dari akta yang asli maka
kekuatan pembuktian terhadapnya adalah tidak sekuat dengan akta yang asli.
Apabila akta yang asli ada, maka salinan akta dan ikhtisar akta tersebut dapat
dipercaya jika sesuai dengan akta aslinya Pasal 1888 ayat ( 2 ) BW dan pihak
yang memberikan bukti tersebut senantiasa dapat mempertunjukkan sebagai alat
bukti yang sah.
Ad. 2. Bukti saksi
Karena hukum acara pidana dan hukum acara perdata lahir
dari induk yang sama yaitu Herziene
Indlandsh Reglement ( HIR ) maka alat bukti saksi antara hukum acara
perdata dan hukum acara pidana memiliki ke-identikan, antara lain berlakunya
prinsip ullus testis nullus testis yaitu
seorang saksi saja tanpa ada alat bukti yang lain tidak dapat dipercaya ( Pasal
169 HIR vide Pasal 1905 BW ). Saksi
yang memberikan keterangan di persidangan harus mengetahui sendiri bagaimana
kejadian yang diterangkan oleh saksi adalah kejadian yang dialaminya sendiri,
sama halnya seperti pada hukum acara pidana, keterangan saksi testimonium de
auditu tidak merupakan alat bukti yang sah ( lihat Pasal 171 ayat ( 2 ) HIR
). Persesuaian keterangan yang diberikan antara satu saksi dengan saksi
yang lain harus ada sesuai.
Yang
tidak dapat didengar menjadi saksi dalam persidangan perdata yang disebutkan
dalam Pasal 145 ayat ( 1 ) HIR meliputi :
1. Keluarga
sedarah dan keluarga semenda dari salah satu pihak yang berperkara dalam garis
lurus;
2. Suami
atau istri dari salah satu pihak yang berperkara, meskipun itu sudah cerai;
3. Anak
– anak yang tidak dapat diketahui secara pasti apakah usianya sudah mencapai
genap umur 15 ( limabelas ) tahun, dan;
4. Orang
yang gila, meskipun terkadang ingatannya terang.
Keluarga
sedarah atau keluarga semenda tidak boleh ditolak menjadi saksi dalam perkara
tentang keadaan menurut hukum perdata kedua pihak yang berperkara atau tentang
perjanjian kerja ( Pasal 145 ayat ( 2 ) HIR ).
Ad. 3. Persangkaan
Pasal 1915 BW menyebutkan bahwa persangkaan adalah kesimpulan-kesimpulan
yang oleh Undang-undang atau oleh Hakim ditariknya dari suatu peristiwa yang
terkenal ke arah suatu peristiwa yang tidak terkenal. Persangkaan ini kemudian
dibagi lagi menjadi 2 ( dua ) oleh Pasal 1915 ayat ( 2 ) BW, diantaranya :
a. Persangkaan
yang menurut undang-undang yaitu persangkaan yang berdasarkan suatu ketentuan
khusus undang-undang, dihubungkan dengan perbuatan tertentu atau
peristiwa-peristiwa tertentu ( lihat Pasal 1916 BW ). Kemudian Pasal 1916 BW
membagi lagi jenis persangkaan yang didasarkan atas suatu ketentuan peraturan
perundang-undangan, yaitu :
1) Perbuatan
yang oleh undang-undang dinyatakan batal, karena semata-mata demi sifat dan
wujudnya dianggap telah dilakukan untuk menyelundupi suatu ketentuan
undang-undang;
2) Suatu
hal dimana oleh undang-undang diterangkan bahwa hak milik atau pembebasan utang
disimpulkan dari keadaan-keadaan tertentu;
3) Kekuatan
yang oleh undang-undang diberikan kepada suatu putusan Hakim yang telah
memperoleh kekuatan mutlak, dan;
4) Kekuatan
yang oleh undang-undang diberikan kepada pengakuan atau kepada sumpah salah
satu pihak.
b. Persangkaan
yang tidak berdasarkan pada undang-undang, pembuktian persangkaan tersebut
selanjutnya diserahkan kepada pertimbangan dan kewaspadaan Hakim ( lihat Pasal
1922 BW ).
Ad. 4. Pengakuan
Barangsiapa yang memberikan bukti berupa pengakuan
yang dilakukan di muka Hakim memberikan suatu alat bukti yang sempurna terhadap
siapa yang melakukannya sendiri ataupun oleh kuasanya ( lihat Pasal 1925 BW dan
Pasal 174 HIR ). Pengakuan yang telah dilakukan di muka Hakim tidak dapat
ditarik kembali kecuali apabila dibuktikan bahwa pengakuan tersebut skibat dari
suatu kekhilafan mengenai hal-hal yang terjadi dan seolah-olah orang yang
melakukan ( pengakuan ) itu khilaf tentang hal hukum ( lihat Pasal 1926 BW ).
Ad. 5. Sumpah
Alat bukti yang terakhir dalam hukum acara perdata
yaitu sumpah. Pasal 177 HIR menyebutkan apabila salah satu pihak yang
berperkara telah mengangakat sumpah di depan Hakim yang dibebankan atau
dikembalikan kepadanya atau dibebankan kepadanya oleh Hakim, tidak boleh
diminta keterangan lain untuk meneguhkan sumpahnya. Alat bukti sumpah dibagi menjadi 2 ( dua ) oleh Pasal 1929 BW yaitu
:
a. Sumpah
pemutus ( decissoir ) yaitu sumpah
yang diperintahkan oleh salah satu pihak yang berperkara kepada pihak lain
untuk menggantungkan pemutusan perkara kepadanya, dan;
b. Sumpah
suppletoir yaitu sumpah yang
diperintahkan kepada salah satu pihak oleh Hakim.
C. Alat Bukti Informasi, Dokumen Elektronik dan Hasil Cetaknya ( Alat Bukti ITE )
Selain alat bukti yang
terdapat dalam Pasal 164 HIR vide
Pasal 1866 BW, alat bukti yang lain yang sah secara hukum juga
disebutkan dalam Pasal 5 ayat ( 1 ) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ( ITE ) yaitu :
- Informasi Elektronik, dan/atau;
- Dokumen Elektronik, dan/atau;
- Hasil cetak dari Informasi dan Dokumen
Elektronik.
Ketiga alat bukti yang
terdapat dalam Pasal 5 ayat ( 1 ) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ( ITE ) merupakan bukti
otentik yang sah dan dapat digunakan sebagai pembuktian di persidangan. Alat
bukti elektronik tersebut merupakan perluasan alat bukti yang diatur
dalam Pasal 164 HIR vide Pasal
1866 BW ( Pasal 5 ayat ( 2 ) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik ( ITE ).
Namun tidak semua dokimen elektronik dan
hasil cetaknya dapat digunakan sebagai alat bukti elektronik yang sah dan
otentik ada beberapa dokumen dan informasi eletronik yang tidak berlaku
sah sebagai alat bukti sesuai ketentuan Pasal 5 ayat ( 4 ) Undang-undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ( ITE ), diantaranya
:
- Surat yang menurut Undang-undang harus dibuat
dalam bentuk tertulis, yaitu meliputi tetapi tidak terbatas pada Surat
Berharga, Surat Yang Berharga dan surat yang digunakan pada proses
penegakan hukum acara pidana, acara perdata dan administrasi Negara;
- Surat beserta Dokumennya yang menurut
Undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta notariil atau akta yang dibuat
oleh pejabat pembuat akta.
DAFTAR PUSTAKA :
Burgerlijk Wetboek
Herzien Indlandsch Reglement Stb. 44 – 1941
Undang – undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ( ITE ).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar