Informasi

Blog dalam tahap pengembangan

Kamis, 15 Februari 2018

Pembuktian dan Alat Bukti dalam hukum Acara Perdata

Pembuktian dan Alat Bukti dalam hukum Acara Perdata

A.    Pembuktian dalam hukum acara perdata


Berbeda dengan hukum acara pidana yang sudah menggunakan produk hukum nasional yaitu Undang-undang Nomor 08 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, landasan hukum acara perdata masih menggunakan produk hukum kolonial Belanda yang sampai saat ini belum diperbaharui dan masih digunakan yaitu Herzien Indlandsch Reglement ( HIR ) Staatsblaad 44 – 1941 untuk wilayah Jawa dan Madura serta Reglement Voor Buiten Gewesten ( RbG ) untuk wilayah di luar Jawa dan Madura. Landasan hukum acara perdata antara Jawa – Madura dan luar Jawa – Madura memang berbeda hal itu sudah berlaku sejak zaman kolonialisme berkuasa hingga saat ini tanpa ada perubahan sama sekali sejak terakhir direvisinya kembali HIR pada tahun 1941, walaupun landasan hukum acara perdata antara HIR dan RbG berbeda, namun substansi muatan yang ada didalamnya sebenarnya sama saja, terutama dalam hal pembuktian dan alat bukti dalam persidangan perdata. Perihal pembuktian perdata juga dapat ditemukan dalam buku ke – IV Burgerlijk Wetboek atau Kitab Undang-undang Hukum Perdata tentang pembuktian dan daluwarsa. Hal ini berarti buku ke – IV BW merupakan salah satu landasan formil hukum acara perdata.

Sebelumnya saya juga sudah membahas mengenai pembuktian dan alat bukti dalam hukum acara pidana ( baca juga : Pembuktian dan Alat Bukti Dalam Hukum Acara Pidana ).

 Jika dalam hukum acara pidana yang dicari adalah kebenaran yang sejati atau kebenaran materiil atau kebenaran yang objektif karena menempatkan keterangan saksi sebagai alat bukti yang pertama, maka berbeda dalam pembuktian dalam hukum perdata, yang dicari dalam pembuktian hukum acara perdata adalah kebenaran formil-nya atau kebenaran subjektif dikarenakan kebenaran tersebut adalah berasal dari para pihak yang berperkara dan harus dibuktikan pula dari para pihak yang berperkara. Jadi apa yang dikemukakan oleh para pihak yang berperkara baik itu penggugat maupun tergugat di dalam persidangan harus digali fakta-fakta kebenaran bahwa apa yang dikatakan oleh para pihak itu benar adanya, maka dari itu hakim tidak perlu bersusah payah untuk mencari kebenaran dan keadilan yang seperti tercantum dalam peraturan perundang-undangan layaknya hukum acara pidana, melainkan disini ( hukum acara perdata ) hakim hanya bersifat pasif dalam menentukan putusan, yang dimana putusan tersebut dipertimbangkan atas suatu kebenaran dari fakta-fakta yang dikemukakan oleh para pihak.

Fakta tersebut kemudian digali kebenarannya melalui proses pembuktian dengan menggunakan alat bukti. Prinsip pembuktian dalam hukum acara perdata adalah “ barangsiapa yang mengakui suatu hak atau menyatakan suatu kejadian untuk meneguhkan hak tersebut atau untuk membantah hak orang lain harus membuktikan adanya hak atau kejadian tersebut “ ( Pasal 163 HIR vide Pasal 1865 BW ). Jadi pada prinsipnya inti daripada proses pembuktian pada persidangan yaitu “ barangsiapa yang mendalilkan maka dia harus membuktikan dalilnya tersebut ( affirmandi incumbit probatio ) “.

Para pihak yang berperkara disebut dengan pihak penggugat dan tergugat. Penggugat adalah  setiap orang ( persoon ) atau badan hukum ( rechtpersoon ) yang mempunyai kepentingan terhadap tergugat dikarenakan ada hak-hak penggugat yang dilanggar atau ada kewajiban yang belum dipenuhi oleh tergugat. Sedangkan tergugat adalah setiap orang ( persoon ) atau badan hukum ( rechtpersoon ) yang digugat dan dihadapkan di sidang pengadilan oleh penggugat untuk dapat memenuhi hak atau kewajiban tergugat kepada penggugat. Kepentingan yang dimiliki oleh penggugat biasanya dituangkan dalam sebuah posita / fundamentum petendi, posita / fundamentum petendi adalah dalil yang tertulis yang menjadi dasar bagi penggugat untuk melakukan gugatan. Posita gugatan biasanya terdiri dari alasan yang dikemukakan oleh penggugat, kenapa penggugat menggugat tergugat ? alasan tersebut harus dituangkan ke dalam posita, maka dari itu substansi posita adalah menunjuk pada suatu kejadian tertentu atau tentang duduknya perkara yang harus memuat fakta-fakta yang sebenarnya dari suatu kejadian dan disebutkan pula dasar hukumnya yang terdapat dalam posita tersebut, apakah tentang wanprestasi ( Pasal 1238 BW ) atau tentang perbuatan melawan hukum / onrecht matige daads ( Pasal 1365 BW ) semua alasan penggugat, dalilnya, fakta kejadian perkaranya dan dasar hukumnya harus diuraikan secara jelas dan detail dalam posita.

 (Gambar 1. Contoh posita dalam putusan Pengadilan )


Tujuan kenapa penggugat membuat gugatan dan melakukan gugatan adalah untuk menegaskan sesuatu hak yang seharusnya menjadi milik penggugat yang sekarang mungkin berada di pihak tergugat. Jika penggugat sudah mempunyai sesuatu apa yang seharusnya menjadi haknya, kenapa penggugat harus repot-repot melakukan gugatan ? maka dari itu affirmandi incumbit probatio, barangsiapa yang mendalilkan bahwa dia mempunyai suatu hak maka dia harus membuktikan dalil tersebut. Penggugat mendalilkan bahwa ia berhak atas sesuatu yang harusnya milik dia yang sekarang mungkin belum dipenuhi oleh tergugat, maka penggugat harus berani membuktikan hal tersebut di persidangan pada proses pembuktian. Proses pembuktian inilah yang nantinya akan mempengaruhi putusan hakim. Kemungkinan, pihak yang mempunyai bukti yang paling kuat itulah yang akan memenangkan persidangan. Jadi dalam proses persidangan perdata, kebenaran tersebut berasal dari bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak yang berperkara dan hakim benar-benar pasif untuk mencari kebenarannya, karena yang menentukan benar atau tidaknya suatu perkara didasarkan oleh kekuatan pembuktian masing-masing pihak, maka dari itu pencarian kebenaran dalam hukum acara perdata sangat subjektif sekali.

Tetapi tidaklah perlu semua hal perlu dibuktikan dalam persidangan, yang perlu dibuktikan hanyalah kejadian yang tidak mendapat persetujuan oleh penggugat dan tergugat. Inilah yang biasanya disebut dengan prinsip pembagian beban pembuktian artinya kedua belah pihak harus mendapat porsi yang sama dalam proses pembuktian dan tidak diperkenankan berat sebelah. Seperti pada halnya pembacaan gugatan oleh penggugat kemudian tergugat menjawabnya dengan jawaban, kemudian penggugat diberi kesempatan untuk menjawabnya dengan replik dan tergugat menjawab replik dengan duplik ( proses jawab-jinawab ) sebelum melangkah ke proses pembuktian. Di dalam pembuktian pun penggugat dan tergugat harus mendapat porsi yang sama seperti pada proses sebelumnya agar prinsip pembagian beban pembuktian ini dapat ter-implementasi dengan baik. Artinya dalam proses persidangan perdata para pihak yang berperkara selalu mendapat jatah yang sama dengan perbandingan 50 : 50 antara penggugat dan tergugat, hal itu dimaksudkan agar prinsip equality before the law atau kesamaan kedudukan di depan hukum dapat tercapai dengan baik dengan mengedepankan prinsip kemanusiaan dan keadilan.


B.     Alat bukti hukum acara perdata


Barangsiapa yang mendalilkan bahwa dia mempunyai hak, atau untuk meneguhkan haknya sendiri maupun membantah hak orang lain dan menunjuk pada suatu peristiwa maka dia harus membuktikan. Pembuktian yang hendak dilakukan oleh para pihak yang berperkara harus dikuatkan oleh alat bukti, macam alat bukti dalam hukum acara perdata disebutkan dalam Pasal 164 HIR vide Pasal 1866 BW, yaitu :

1.      Bukti surat;
2.      Bukti saksi;
3.      Persangkaan;
4.      Pengakuan, dan;
5.      Sumpah

Ad. 1. Bukti surat


Bukti surat yang dapat diajukan sebagai alat bukti yang sah dibagi menjadi 2 ( dua ) oleh Pasal 1867 BW yaitu :

a.      Akta otentik


Akta otentik adalah suatu akta yang bentuk dan formatnya diatur oleh Undang-undang yang dibuat oleh atau dihadapan pegawai umum yang berkuasa atas itu ditempat mana akta tersebut dibuat ( Pasal 1868 BW ), sedangkan definisi akta otentik menurut Pasal 165 HIR adalah surat yang dibuat oleh atau dihadapan pegawai umum yang mempunyai kewenangan untuk membuatnya dan menjadi bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli waris masing-masing serta sekalian orang yang mendapat hak darinya tentang segala hal yang tersebut dalam akta itu dan segala sesuatu yang tercantum dalam surat itu sebagai suatu pemberitahuan tetapi yang tersebut terakhir ini hanya sekedar yang diberitahukan menyangkut dengan pokok daripada akta tersebut.

      Contoh akta otentik adalah akta yang dibuat oleh dan atau dihadapan seorang Notaris yang mempunyai kewenangan untuk membuat suatu akta otentik ( Pasal 1 ayat ( 1 ) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris ) akta yang dibuat oleh seorang Notaris tersebut selanjutnya disebut sebagai akta Notaris ( Pasal 1 ayat ( 7 ) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris ).

      Pasal 1869 BW menyatakan bahwa apabila akta otentik yang dibuat oleh pegawai yang berwenang untuk itu ternyata tidak memenuhi syarat materiil atau bentuknya cacat atau tidak terpenuhinya salah satu syarat yang tersebut dalam Pasal 38 ayat ( 1 ), ( 2 ), ( 3 ) dan ( 4 ) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris maka tidak dapat diberlakukan sebagai suatu akta otentik, melainkan hanya berlaku sebagai akta dibawah tangan apabila ditanda-tangani oleh para pihak yang bersangkutan.

      Apabila surat otentik tersebut digunakan sebagai alat bukti di persidangan dan ada salah satu pihak yang berperkara menyatakan bahwa akta tersebut adalah palsu, maka sesuai dengan prinsip pembuktian ( Pasal 163 HIR vide Pasal 1865 BW ) harus membuktikan bahwa akta tersebut adalah palsu ( Pasal 1872 BW ).

b.      Akta dibawah tangan


Definisi akta dibawah tangan apabila kita cari di dalam HIR maka tidak akan ditemukan definisinya, Pasal 1874 BW menyebutkan yang dapat dikatakan sebagai akta dibawah tangan adalah surat-surat, register-register, surat-surat urusan rumah tangga dan surat-surat yang lain yang dibuat tanpa perantara seorang pegawai umum. Pasal 1874 ayat ( 2 ) BW dan Pasal 1874a BW menyatakan bahwa suatu akta dibawah tangan dapat dilakukan legalisasi dihadapan seorang pegawai umum.

Kekuatan pembuktian akta ( baik akta otentik maupun akta dibawah tangan ) seperti yang disebutkan dalam Pasal 1888 ayat ( 1 ) BW  adalah ada pada akta yang aslinya, artinya jika akta yang digunakan sebagai alat bukti tersebut hanya sebuah akta salinan dari akta yang asli maka kekuatan pembuktian terhadapnya adalah tidak sekuat dengan akta yang asli. Apabila akta yang asli ada, maka salinan akta dan ikhtisar akta tersebut dapat dipercaya jika sesuai dengan akta aslinya Pasal 1888 ayat ( 2 ) BW dan pihak yang memberikan bukti tersebut senantiasa dapat mempertunjukkan sebagai alat bukti yang sah.

Ad. 2. Bukti saksi

           
Karena hukum acara pidana dan hukum acara perdata lahir dari induk yang sama yaitu Herziene Indlandsh Reglement ( HIR ) maka alat bukti saksi antara hukum acara perdata dan hukum acara pidana memiliki ke-identikan, antara lain berlakunya prinsip ullus testis nullus testis yaitu seorang saksi saja tanpa ada alat bukti yang lain tidak dapat dipercaya ( Pasal 169 HIR vide Pasal 1905 BW ). Saksi yang memberikan keterangan di persidangan harus mengetahui sendiri bagaimana kejadian yang diterangkan oleh saksi adalah kejadian yang dialaminya sendiri, sama halnya seperti pada hukum acara pidana, keterangan saksi testimonium de auditu tidak merupakan alat bukti yang sah ( lihat Pasal 171 ayat ( 2 ) HIR ). Persesuaian keterangan yang diberikan antara satu saksi dengan saksi yang lain harus ada sesuai.

Yang tidak dapat didengar menjadi saksi dalam persidangan perdata yang disebutkan dalam Pasal 145 ayat ( 1 ) HIR meliputi :

     1.     Keluarga sedarah dan keluarga semenda dari salah satu pihak yang berperkara dalam garis lurus;
      2.  Suami atau istri dari salah satu pihak yang berperkara, meskipun itu sudah cerai;
      3.   Anak – anak yang tidak dapat diketahui secara pasti apakah usianya sudah mencapai genap umur 15 ( limabelas ) tahun, dan;
      4.   Orang yang gila, meskipun terkadang ingatannya terang.

Keluarga sedarah atau keluarga semenda tidak boleh ditolak menjadi saksi dalam perkara tentang keadaan menurut hukum perdata kedua pihak yang berperkara atau tentang perjanjian kerja ( Pasal 145 ayat ( 2 ) HIR ).

Ad. 3. Persangkaan


Pasal 1915 BW menyebutkan bahwa persangkaan adalah kesimpulan-kesimpulan yang oleh Undang-undang atau oleh Hakim ditariknya dari suatu peristiwa yang terkenal ke arah suatu peristiwa yang tidak terkenal. Persangkaan ini kemudian dibagi lagi menjadi 2 ( dua ) oleh Pasal 1915 ayat ( 2 ) BW, diantaranya :

a.       Persangkaan yang menurut undang-undang yaitu persangkaan yang berdasarkan suatu ketentuan khusus undang-undang, dihubungkan dengan perbuatan tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu ( lihat Pasal 1916 BW ). Kemudian Pasal 1916 BW membagi lagi jenis persangkaan yang didasarkan atas suatu ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu :

1)      Perbuatan yang oleh undang-undang dinyatakan batal, karena semata-mata demi sifat dan wujudnya dianggap telah dilakukan untuk menyelundupi suatu ketentuan undang-undang;
2)      Suatu hal dimana oleh undang-undang diterangkan bahwa hak milik atau pembebasan utang disimpulkan dari keadaan-keadaan tertentu;
3)      Kekuatan yang oleh undang-undang diberikan kepada suatu putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak, dan;
4)      Kekuatan yang oleh undang-undang diberikan kepada pengakuan atau kepada sumpah salah satu pihak.

b.      Persangkaan yang tidak berdasarkan pada undang-undang, pembuktian persangkaan tersebut selanjutnya diserahkan kepada pertimbangan dan kewaspadaan Hakim ( lihat Pasal 1922 BW ).

Ad. 4. Pengakuan


Barangsiapa yang memberikan bukti berupa pengakuan yang dilakukan di muka Hakim memberikan suatu alat bukti yang sempurna terhadap siapa yang melakukannya sendiri ataupun oleh kuasanya ( lihat Pasal 1925 BW dan Pasal 174 HIR ). Pengakuan yang telah dilakukan di muka Hakim tidak dapat ditarik kembali kecuali apabila dibuktikan bahwa pengakuan tersebut skibat dari suatu kekhilafan mengenai hal-hal yang terjadi dan seolah-olah orang yang melakukan ( pengakuan ) itu khilaf tentang hal hukum ( lihat Pasal 1926 BW ).

Ad. 5. Sumpah


Alat bukti yang terakhir dalam hukum acara perdata yaitu sumpah. Pasal 177 HIR menyebutkan apabila salah satu pihak yang berperkara telah mengangakat sumpah di depan Hakim yang dibebankan atau dikembalikan kepadanya atau dibebankan kepadanya oleh Hakim, tidak boleh diminta keterangan lain untuk meneguhkan sumpahnya. Alat bukti sumpah dibagi menjadi 2 ( dua ) oleh Pasal 1929 BW yaitu :

a.       Sumpah pemutus ( decissoir ) yaitu sumpah yang diperintahkan oleh salah satu pihak yang berperkara kepada pihak lain untuk menggantungkan pemutusan perkara kepadanya, dan;
b.      Sumpah suppletoir yaitu sumpah yang diperintahkan kepada salah satu pihak oleh Hakim.


C. Alat Bukti Informasi, Dokumen Elektronik dan Hasil Cetaknya ( Alat Bukti ITE )



Selain alat bukti yang terdapat dalam Pasal 164 HIR vide Pasal 1866 BW, alat bukti yang lain yang sah secara hukum juga disebutkan dalam Pasal 5 ayat ( 1 ) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ( ITE ) yaitu :

  1. Informasi Elektronik, dan/atau;
  2. Dokumen Elektronik, dan/atau;
  3. Hasil cetak dari Informasi dan Dokumen Elektronik.
Ketiga alat bukti yang terdapat dalam Pasal 5 ayat ( 1 ) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ( ITE ) merupakan bukti otentik yang sah dan dapat digunakan sebagai pembuktian di persidangan. Alat bukti elektronik tersebut merupakan perluasan alat bukti yang diatur dalam Pasal 164 HIR vide Pasal 1866 BW ( Pasal 5 ayat ( 2 ) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ( ITE ).
Namun tidak semua dokimen elektronik dan hasil cetaknya dapat digunakan sebagai alat bukti elektronik yang sah dan otentik ada beberapa dokumen dan informasi eletronik yang tidak berlaku sah sebagai alat bukti sesuai ketentuan Pasal 5 ayat ( 4 ) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ( ITE ), diantaranya :

  1. Surat yang menurut Undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis, yaitu meliputi tetapi tidak terbatas pada Surat Berharga, Surat Yang Berharga dan surat yang digunakan pada proses penegakan hukum acara pidana, acara perdata dan administrasi Negara;
  2. Surat beserta Dokumennya yang menurut Undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta notariil atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.

DAFTAR PUSTAKA :

Burgerlijk Wetboek
Herzien Indlandsch Reglement Stb. 44 – 1941
Undang – undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ( ITE ).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar