Legalitas
bagi keberadaan kaum LGBT di dalam hukum positif di Indonesia memang selalu
menarik untuk dijadikan bahan diskusi. Tinjauan mengenai hal tersebut berkaitan
erat dengan legalitas hukum positif yang berlaku di Indonesia, terutama jika
dipandang dari perspektif hak azasi manusia, hukum keperdataan dan hukum pidana
positif yang berlaku di Indonesia.
A.
Legalitas
LGBT dalam aspek hak azasi manusia
Setiap manusia pada hakikatnya
mempunyai hak azasi manusia yang melekat di dalam dirinya sejak dia berada di
dalam kandungan hingga dia dilahirkan di dunia sebagai bentuk anugerah dari
Tuhan Yang Maha Esa yang wajib dijunjung tinggi, dilindungi dan dihormati oleh
Negara dan oleh setiap orang demi melindungi harkat dan martabatnya serta
dijauhkan dari segala tindakan diskriminasi yang ditujukan kepada dirinya.
Urgensi dari eksistensi hak azasi manusia adalah antara hak azasi manusia satu
sama lain dilarang di intervensi oleh siapapun dan oleh kepentingan apapun
untuk menghindari sikap diskriminasi terhadap eksistensi hak azasi manusia.
Terkait dengan hak azasi manusia,
sebenarnya para kaum LGBT juga mempunyai hak azasi manusia yang melekat pada
tiap-tiap diri kaum LGBT tersebut. Kaum LGBT tidak banyak berbeda dengan
manusia normal pada umumnya yang mempunyai hak untuk hidup serta untuk
mempertahankan kehidupannya seperti yang telah diatur dalam Pasal 28A
Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 atau hak-hak dasar manusia
yang juga diatur dalam Konvensi Internasional tentang Declaration Of Human Rights tepatnya Article 2 Declaration Of Human Rights yang menyatakan :
“Everyone is entitled to all the rights and freedoms set
forth in this Declaration, without distinction of any kind, such as race,
colour, sex, language, religion, political or other opinion, national or social
origin, property, birth or other status. Furthermore, no distinction shall be
made on the basis of the political, jurisdictional or international status of
the country or territory to which a person belongs, whether it be independent,
trust, non-self-governing or under any other limitation of sovereignty. “
Bahwa sejatinya
seluruh manusia yang ada di dunia ini tetap diperlakukan sama tanpa membedakan
ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, kepercayaan, politik atau pendapat
lainnya, kewarganegaraan dan status yang lainnya. LGBT sendiri tidak hanya ada
dan tumbuh di dalam masyarakat di Indonesia, melainkan di seluruh Negara di
belahan dunia ini juga terdapat kaum semacam itu. Maka dengan adanya Declaration Of Human Rights tersebut
yang pada intinya melindungi hak-hak manusia tanpa memandang segala jenis ras,
warna kulit dan jenis kelamin secara tidak langsung juga merujuk kepada
perlindungan kaum LGBT yang ada di seluruh dunia.
Lalu bagaimana
dengan Indonesia ? Indonesia telah meratifikasi Delcaration Of Human Rights tersebut ke dalam Undang-undang Nomor
39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia. Ini merupakan bukti dan komitmen
Indonesia untuk melindungi dan menjamin keberlangsungan hak azasi warga Negara
Indonesia agar dapat berjalan dengan baik. Bahkan jauh sebelum Indonesia
meratifikasi Konvensi Internasional tersebut, konstitusi juga telah tegas
mengatur mengenai hak azasi manusia ( seluruh Pasal 28 ).
Tetapi apakah dengan adanya hak
azasi manusia yang dimiliki oleh setiap orang dapat menjadikan setiap orang
tersebut mempunyai suatu hak yang tidak terbatas ? Pasal 28 J ayat ( 2 ) Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan :
“ Dalam menjalankan hak dan
kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan
dengan Undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Jelas ditegaskan secara eksplisit
dalam Pasal 28 J ayat ( 2 ) Konstitusi bahwa hak azasi manusia walaupun sudah
diberikan ruang dan tempat untuk memperoleh haknya tetapi tetap saja terhadap
hak azasi tersebut tetap ada batasannya dengan tujuan untuk menghormati hak
azasi orang lain, dan tentu saja dalam hal ini prinsip keadilan tetap harus
diutamakan agar setiap orang memiliki hak azasi yang sama.
Kembali lagi ke pokok pembahasan
awal yaitu mengenai legalitas LGBT dalam hukum positif di Indonesia. Memang
setiap orang yang hidup di dunia ini, khususnya lagi bagi setiap rakyat
Indonesia memiliki hak azasi yang melekat didalam dirinya sejak berada didalam
kandungan sampai ia lahir ke dunia karena hal tersebut merupakan anugerah dari
Tuhan Yang Maha Esa. Tak terpungkiri juga hak azasi manusia yang dimiliki oleh
kaum LGBT yang ada di Indonesia. Berdasarkan Pasal 3 ayat ( 3 ) Undang-undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia setiap orang berhak atas
perlindungan hak azasi manusia dan kebebasan manusia tanpa diskriminasi,
mungkin hal yang demikian juga berlaku terhadap kaum LGBT yang pada dasarnya
mempunyai hak untuk tidak di diskriminasi keberadaannya di Indonesia.
Walaupun disini kaum LGBT mempunyai
hak azasi untuk tidak di diskriminasi, dimana hak untuk tidak di diskrimasi
tersebut tidak hanya berlaku hanya untuk suatu golongan saja akan tetapi Pasal
3 ayat ( 3 ) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia juga
menunjuk ke seluruh rakyat Indonesia. Dengan adanya keberadaan kaum LGBT
tersebut di dalam kehidupan sosial masyarakat, maka perilaku tersebut tidaklah
sesuai dengan norma agama dan mungkin bagi suatu mayoritas sosial masyarakat
hal tersebut dianggap sebagai hal yang tidak etis, immoralitas, bertentangan dengan nilai-nilai adat atau bahkan
mengganggu ketertiban umum yang hidup dalam masyarakat.
Pancasila adalah sumber dari segala
sumber hukum yang berlaku di Indonesia, dimana nilai ketuhanan adalah menjadi
nilai utama yang terdapat dalam Pancasila, hal ini tentu saja membuat Indonesia
bukan hanya sekedar menjadi negara hukum ( recht
staat ) biasa, akan tetapi Indonesia adalah Negara hukum yang berkonsep
ketuhanan ( goddelijkheid recht staat )
yang secara eksplisit tersebut dalam Pasal 29 ayat ( 1 ) Konstitusi, yang
menyatakan :
“ Negara berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.”
Perilaku
LGBT sendiri tidak dibenarkan dan dilarang oleh norma agama manapun yang hidup
di Negara Indonesia. Pada dasarnya Tuhan menciptakan manusia adalah untuk
berpasang-pasangan, yaitu antara laki-laki dengan perempuan, hal ini dapat
dicermati dalam firman Allah SWT yang terdapat Al-Qur’an Surah Adh-Dhariyat
ayat 49, yang artinya :
“ Dan segala sesuatu telah Kami
ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.”
Hakikat penciptaan manusia adalah
untuk berpasang-pasangan, yaitu seorang laki-laki dengan seorang perempuan
dengan menjalin suatu ikatan perkawinan yang suci berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Maka dengan adanya suatu perilaku LGBT tersebut tentu saja melanggar
kodrat yang ditentukan oleh Tuhan, dimana dalam perilaku LGBT adalah laki-laki
menyukai sesama jenisnya ( gay ),
perempuan menyukai sesama jenisnya ( lesbian
), seseorang laki-laki yang menyukai laki-laki dan perempuan atau
sebaliknya ( bisexual ) dan perubahan
jenis kelamin ( transgender ).
Maka
dari itu, perilaku LGBT bertentangan dengan norma-norma agama yang berlaku di
Indonesia, sedangkan diketahui bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum yang
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa ( goddelijkeheid
recht staat ) yang seharusnya nilai-nilai agama harus dijunjung tinggi
sebagai tolak ukur moralitas suatu Bangsa. Sejalan dengan hal tersebut,
Pancasila sebagai falsafah pandangan hidup bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara dan merupakan suatu ideologi Negara menempatkan nilai ketuhanan di
urutan pertama dari ke-lima sila yang terdapat didalamnya. Perilaku LGBT
sendiri tidak dibenarkan oleh norma agama, jadi Negara Indonesia seharusnya
juga menentang terhadap perilaku tersebut karena tidak sesuai dengan nilai
luhur Pancasila.
Dan jika karena alasan hak azasi
manusia yang menjadi hak dasar setiap manusia yang juga merupakan anugerah dari
Tuhan Yang Maha Esa yang menjadi dasar untuk menjamin hak-hak dasar manusia
termasuk di dalamnya kaum LGBT, maka hal ini perlu dikaji berdasarkan
batasan-batasan hak-hak dasar manusia seperti yang telah disebutkan dalam Pasal
28 J ayat ( 2 ) Konstitusi, dimana hak azasi manusia tersebut tetap diakui oleh
Negara asalkan tidak melampaui batas, batasan tersebut meliputi :
a . Pertimbangan
moral;
b . Nilai-nilai
agama;
c . Keamanan,
dan;
d . Ketertiban
umum di dalam suatu masyarakat yang demokratis.
Dengan
adanya perilaku LGBT saja sudah bertentangan dengan nilai-nilai agama apalagi
menyangkut mengenai pertimbangan moral dan ketertiban umum di dalam kehidupan
sosial masyarakat. Tentu saja perilaku menyimpang ( social distortion ) tersebut menggangu ketertiban umum yang hidup
didalam kehidupan sosial masyarakat. Hal ini berarti walaupun perilaku LGBT
tetap djamin oleh hak azasi manusia tetapi hak azasi ini tidak mencerminkan
nilai keadilan ( justice value ) bagi
semua rakyat, karena disisi lain ada yang diuntungkan karena sesuatu hal dan
disisi lain ada yang merasa dengan adanya hak tersebut menggangu ketertiban
umum yang hidup di dalam kehidupan sosial masyarakat.
Walaupun
LGBT tidak dapat dikategorikan ke dalam suatu bentuk kejahatan yang diatur
dalam buku – II KUHP maupun pelanggaran yang diatur dalam buku – III KUHP,
namun perilaku LGBT tersebut merupakan suatu hal penyimpangan sosial ( social distortion ) yang ditakutkan oleh
masyarakat karena dengan adanya perilaku tersebut akan membawa dampak dan
pengaruh secara langsung maupun tidak langsung di dalam kehidupan sosial
masyarakat. Pada akhirnya perilaku LGBT tersebut dipandang sebagai perilaku
yang bersifat negatif di mata masyarakat Indonesia.
B.
Legalitas
LGBT dalam hukum perdata positif di Indonesia
Hubungan
yang terjadi antara pelaku LGBT tentu saja menimbulkan suatu hubungan
keperdataan, dimana hubungan keperdataan tersebut biasanya mengarah kepada
persoalan perkawinan. Apakah di dalam hukum perdata positif di Indonesia yang
sekarang ini me-legalkan perkawinan sesama jenis ?
Perkawinan
sejatinya juga merupakan hak azasi untuk setiap rakyat Indonesia, dimana hal
tersebut diatur dalam Pasal 28B ayat ( 1 ) Konstitusi, yang menyatakan :
“ Setiap orang berhak
membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.”
Perkawinan
yang sah tersebut kemudian dijelaskan lebih lanjut oleh Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan yang merupakan amanat dari Pasal 28B ayat ( 1 )
Konstitusi. Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
menyatakan :
“ Perkawinan adalah
suatu ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Dapat
dicermati dari definisi diatas, bahwa perkawinan hanya dapat dilaksanakan
antara seorang pria dan seorang wanita yang telah memenuhi syarat perkawinan.
Hukum positif perkawinan yang berlaku di Indonesia sampai saat ini adalah
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam
bagi umat muslim di Indonesia. Di dalam Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan
bahwa suatu perkawinan harus memenuhi rukun-rukun, diantaranya :
a . Calon
mempelai pria;
b . Calon
mempelai wanita;
c . Wali
nikah;
d . Dua
orang saksi, dan;
e . Ijab
dan kabul.
Rukun
perkawinan atau rukun pernikahan dalam Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam juga
secara tegas menyebutkan bahwa subjek perkawinan tersebut hanyalah seorang
calon mempelai pria dan calon mempelai wanita. Jadi, jelas bahwa di dalam hukum
perdata positif di Indonesia tidak ada ruang dan tempat untuk melegalkan
perkawinan sesama jenis, dan jika ada pun perkawinan tersebut harus dibatalkan
demi hukum ( absolut nietig ).
C.
Legalitas
LGBT dalam hukum pidana positif di Indonesia
Lingkup
LGBT sangat luas apabila dikaitkan dengan hukum pidana, mengingat LGBT tersebut
merupakan empat perilaku yang berbeda yaitu Lesbian, Gay, Bisexual dan Transgender yang penyebutannya di jadikan menjadi
satu ( akronim ). Namun diantara empat perbuatan tersebut, yang paling banyak
menjadi sorotan adalah mengenai hubungan sesama jenis yang tidak dibenarkan
dalam norma agama dan bertentangan dengan nilai luhur Pancasila serta
Konstitusi. Di dalam KUHP, terutama yang mengatur mengenai delik kejahatan dan
pelanggaran kesusilaan, secara spesifik belum ada yang mengatur mengenai hal
tersebut.
Fakta
yang pertama adalah KUHP merupakan konkordasi dari hukum pidana Kolonial
Belanda yaitu Wetboek Van Strafrecht Voor
Nederlandsch-Indie dan diubah namanya menjadi Wetboek Van Strafrecht ( kemudian
yang sekarang ini dikenal dengan nama KUHP ) oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun
1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan sampai sekarang masih digunakan dan
menjadi landasan hukum materiil hukum pidana positif di Indonesia. Maka secara
tidak langsung kiblat hukum pidana positif yang berlaku di Indonesia yaitu
berkiblat pada hukum pidana Belanda yang digunakan pada zaman Kolonialisme yang
dulunya Indonesia masih bernama Nederlandsch
Indie. Sedangkan hukum dan norma-norma adat ( living law ) yang tidak tertulis umumnya tidak terlalu banyak
berperan dalam pembentukan hukum pidana di Indonesia, karena hukum pidana
Indonesia yang berlaku saat ini merupakan sebuah injection atau suntikan dari budaya Eropa khususnya Belanda yang
tidak sesuai dengan norma agama dan norma adat yang hidup di dalam masyarakat
Nusantara. Dengan adanya suntikan hukum pidana yang lekat dengan budaya Eropa
tersebut maka tidak sesuai dengan hukum adat maupun norma-norma yang tidak
tertulis yang hidup di dalam masyarakat terutama mengenai kesusilaan.
Fakta
kedua, bahwa sejak tahun 1811 Belanda telah melegalkan homoseksualitas dan pada tahun 2001 Belanda melegalkan aktivitas lesbian dan gay dalam bentuk pernikahan sesama jenis di Negaranya, dan mengadakan festival gay pride ! setiap awal Agustus ( sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Hak_LGBT_di_Belanda
). Tentu saja hal ini berkaitan dengan fakta yang pertama mengenai konkordasi Wetboek Van Strafrecht Voor
Nederlandsch-Indie menjadi KUHP, dimana di dalam KUHP tersebut terdapat
nilai-nilai yang identik dengan budaya yang hidup di Belanda terutama mengenai
hal kesusilaan khususnya mengenai lesbian
dan gay yang merupakan tindakan
tercela dan tidak sesuai dengan norma agama dan norma adat yang hidup ( living law ) dan ada di dalam hukum adat
Nusantara yang selalu menjunjung tinggi norma agama dan kesopanan.
Jika
dicermati, delik kejahatan kesusilaan yang terdapat dalam Pasal 281 – 296 KUHP
tidak ditemukan satu pun pemidanaan terhadap pelaku lesbian dan gay. Dalam
hal ini, saya tidak beranggapan bahwa setiap orang yang terlibat dalam lesbian, gay, bisexual dan transgender harus dijatuhi pidana atau
kriminalisasi, karena setiap perbuatan lesbian
atau gay belum tentu dapat
dikatakan sebagai sebuah perbuatan kejahatan. Melainkan, apabila hal tersebut
dilakukan dengan tujuan untuk melawan hukum dan dilakukan dengan unsur-unsur
paksaan ( dwang ), kesengajaan ( dolus ), kelalaian ( culpa ) niatan ( mens rea ), perlakuan kejahatan itu sendiri ( actus reus ) ancaman dan delik-delik lain yang berkaitan dengan
kejahatan, maka terhadap perilaku tersebut harus di pidana. Tujuan yang ingin
dicapai oleh hukum pidana sebenarnya bukanlah suatu pemidanaan terhadap
pelakunya, tetapi dengan adanya hukum pidana seseorang dapat lebih berhati-hati
dalam melakukan suatu perbuatan, manakala perbuatan ini sudah ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan pidana, artinya hukum pidana senantiasa selalu
mengedepankan upaya pencegahan ( preventif
) daripada upaya penindakan ( represif
), karena upaya penindakan dalam hukum pidana merupakan langkah terakhir ( foldium remedium ).
Dalam
hal kejahatan kesusilaan sesama jenis, memang ada satu pasal yang mengatur
mengenai hal tersebut di dalam KUHP, yaitu Pasal 292 KUHP yang menyatakan :
“ Orang dewasa yang
melakukan perbuatan cabul dengan orang lain yang sama jenis kelaminnya dengan
dia yang diketahui atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun.”
Apabila
konteks Pasal 292 KUHP dicermati, maka terdapat suatu delik perbuatan kejahatan
dimana seseorang yang dewasa melakukan perbuatan cabul dengan orang yang belum
dewasa ( anak ) yang jenis kelaminnya sama dimana konteks ini merujuk pada
perbuatan lesbian atau gay¸ tetapi disisi lain delik kesusilaan
yang terdapat dalam Pasal 292 KUHP tersebut juga dapat mengarah ke perbuatan
sodomi atau pedofilia yang korbannya adalah anak-anak. Sedangkan secara lex specialis perbuatan ini sudah
dirumuskan ke dalam Pasal 76D Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
dengan ancaman pidana yang sama yaitu paling lama lima tahun penjara.
Upaya
kriminalisasi yang dilakukan oleh Pasal 292 KUHP hanya sebatas perbuatan cabul
yang dilakukan oleh orang dewasa dengan anak-anak yang sama jenis kelaminnya.
Sedangkan anak menurut Pasal 1 ayat ( 3 ), ( 4 ) dan ( 5 ) Undang – undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah mereka yang
berusia dibawah 18 ( delapanbelas ) tahun.
Baca
juga : Berapakah usia kedewasaan dalam hukum ?
Sedangkan
bagi orang dewasa yang berusia diatas 18 ( delapanbelas ) tahun, tidak
diberikan kepastian terhadap perlindungan hukum apabila yang bersangkutan
menjadi korban pencabulan sesama jenis baik itu lesbian maupun gay. Bisa saja
pelaku tersebut mengincar korban yang usianya diatas 18 ( delapanbelas ) tahun.
Artinya pelaku tersebut tidak memandang segala jenis usia ketika ia melakukan
perbuatan kejahatan tersebut, karena mungkin di dalam dirinya timbul hasrat
untuk melakukan perbuatan demikian dan mengincar siapa saja yang ada
dihadapannya. Sehingga pelaku tersebut secara melawan hukum merampas
kemerdekaan orang lain yang sama dewasanya dan sama jenis kelaminnya dengan
cara paksaan dimana hal tersebut sama halnya dengan Pasal 285 KUHP dimana ada
unsur ancaman kekerasan dan pemaksaan yang dilakukan guna memberikan stimulus
terhadap perbuatan kejahatan tersebut, tetapi yang membedakan antara Pasal 285
KUHP dan 292 KUHP adalah siapa korbannya dan jenis kelaminnya dimana dalam
kasus ini berkaitan dengan perilaku lesbian
dan gay. Jika didalam Pasal 285
KUHP tentang pemerkosaan korbannya adalah seorang wanita yang bukan istrinya,
sedangkan dalam Pasal 292 KUHP korbannya adalah orang yang belum dewasa ( anak
) yang jenis kelaminnya sama.
Namun,
terhadap kejahatan kesusilaan yang korbannya adalah orang dewasa yang jenis
kelaminnya sama, dimana dalam kasus ini berkaitan dengan lesbian, gay, dan transgender
sama sekali belum diatur di dalam hukum pidana positif di Indonesia, hal
ini berkaitan dengan fakta bahwa di Belanda telah melegalkan aktivitas
homoseksualitas sejak tahun 1811 dan pastinya delik mengenai kejahatan
kesusilaan dengan jenis kelamin yang sama dan korbannya orang dewasa adalah
alasan logis mengapa terhadap perbuatan ini tidak diatur dalam KUHP.
Tentu
saja hal ini mengakibatkan kekosongan hukum yang harus secepatnya diisi agar
hukum pidana positif di Indonesia menjadi hukum yang progresif yang selalu
fleksibel mengikuti perkembangan zaman.
DAFTAR PUSTAKA :
Al
– Qur’an
Undang
– undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang
– undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana
Undang
– undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang
– undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia
Undang-undang
Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak
Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
Kitab
Undang – undang Hukum Perdata
Universal Declaration of Human
Rights
Tidak ada komentar:
Posting Komentar