Kamis, 23 Agustus 2018

Legalitas LGBT Dalam Perspektif Hak Azasi Manusia, Hukum Perdata dan Hukum Pidana Positif di Indonesia


Legalitas bagi keberadaan kaum LGBT di dalam hukum positif di Indonesia memang selalu menarik untuk dijadikan bahan diskusi. Tinjauan mengenai hal tersebut berkaitan erat dengan legalitas hukum positif yang berlaku di Indonesia, terutama jika dipandang dari perspektif hak azasi manusia, hukum keperdataan dan hukum pidana positif yang berlaku di Indonesia.

      A.    Legalitas LGBT dalam aspek hak azasi manusia

            Setiap manusia pada hakikatnya mempunyai hak azasi manusia yang melekat di dalam dirinya sejak dia berada di dalam kandungan hingga dia dilahirkan di dunia sebagai bentuk anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang wajib dijunjung tinggi, dilindungi dan dihormati oleh Negara dan oleh setiap orang demi melindungi harkat dan martabatnya serta dijauhkan dari segala tindakan diskriminasi yang ditujukan kepada dirinya. Urgensi dari eksistensi hak azasi manusia adalah antara hak azasi manusia satu sama lain dilarang di intervensi oleh siapapun dan oleh kepentingan apapun untuk menghindari sikap diskriminasi terhadap eksistensi hak azasi manusia.

            Terkait dengan hak azasi manusia, sebenarnya para kaum LGBT juga mempunyai hak azasi manusia yang melekat pada tiap-tiap diri kaum LGBT tersebut. Kaum LGBT tidak banyak berbeda dengan manusia normal pada umumnya yang mempunyai hak untuk hidup serta untuk mempertahankan kehidupannya seperti yang telah diatur dalam Pasal 28A Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 atau hak-hak dasar manusia yang juga diatur dalam Konvensi Internasional tentang Declaration Of Human Rights tepatnya Article 2 Declaration Of Human Rights yang menyatakan :

 Everyone is entitled to all the rights and freedoms set forth in this Declaration, without distinction of any kind, such as race, colour, sex, language, religion, political or other opinion, national or social origin, property, birth or other status. Furthermore, no distinction shall be made on the basis of the political, jurisdictional or international status of the country or territory to which a person belongs, whether it be independent, trust, non-self-governing or under any other limitation of sovereignty. “

            Bahwa sejatinya seluruh manusia yang ada di dunia ini tetap diperlakukan sama tanpa membedakan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, kepercayaan, politik atau pendapat lainnya, kewarganegaraan dan status yang lainnya. LGBT sendiri tidak hanya ada dan tumbuh di dalam masyarakat di Indonesia, melainkan di seluruh Negara di belahan dunia ini juga terdapat kaum semacam itu. Maka dengan adanya Declaration Of Human Rights tersebut yang pada intinya melindungi hak-hak manusia tanpa memandang segala jenis ras, warna kulit dan jenis kelamin secara tidak langsung juga merujuk kepada perlindungan kaum LGBT yang ada di seluruh dunia.

            Lalu bagaimana dengan Indonesia ? Indonesia telah meratifikasi Delcaration Of Human Rights tersebut ke dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia. Ini merupakan bukti dan komitmen Indonesia untuk melindungi dan menjamin keberlangsungan hak azasi warga Negara Indonesia agar dapat berjalan dengan baik. Bahkan jauh sebelum Indonesia meratifikasi Konvensi Internasional tersebut, konstitusi juga telah tegas mengatur mengenai hak azasi manusia ( seluruh Pasal 28 ).

            Tetapi apakah dengan adanya hak azasi manusia yang dimiliki oleh setiap orang dapat menjadikan setiap orang tersebut mempunyai suatu hak yang tidak terbatas ? Pasal 28 J ayat ( 2 ) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan :

“ Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

            Jelas ditegaskan secara eksplisit dalam Pasal 28 J ayat ( 2 ) Konstitusi bahwa hak azasi manusia walaupun sudah diberikan ruang dan tempat untuk memperoleh haknya tetapi tetap saja terhadap hak azasi tersebut tetap ada batasannya dengan tujuan untuk menghormati hak azasi orang lain, dan tentu saja dalam hal ini prinsip keadilan tetap harus diutamakan agar setiap orang memiliki hak azasi yang sama.

            Kembali lagi ke pokok pembahasan awal yaitu mengenai legalitas LGBT dalam hukum positif di Indonesia. Memang setiap orang yang hidup di dunia ini, khususnya lagi bagi setiap rakyat Indonesia memiliki hak azasi yang melekat didalam dirinya sejak berada didalam kandungan sampai ia lahir ke dunia karena hal tersebut merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. Tak terpungkiri juga hak azasi manusia yang dimiliki oleh kaum LGBT yang ada di Indonesia. Berdasarkan Pasal 3 ayat ( 3 ) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia setiap orang berhak atas perlindungan hak azasi manusia dan kebebasan manusia tanpa diskriminasi, mungkin hal yang demikian juga berlaku terhadap kaum LGBT yang pada dasarnya mempunyai hak untuk tidak di diskriminasi keberadaannya di Indonesia.

            Walaupun disini kaum LGBT mempunyai hak azasi untuk tidak di diskriminasi, dimana hak untuk tidak di diskrimasi tersebut tidak hanya berlaku hanya untuk suatu golongan saja akan tetapi Pasal 3 ayat ( 3 ) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia juga menunjuk ke seluruh rakyat Indonesia. Dengan adanya keberadaan kaum LGBT tersebut di dalam kehidupan sosial masyarakat, maka perilaku tersebut tidaklah sesuai dengan norma agama dan mungkin bagi suatu mayoritas sosial masyarakat hal tersebut dianggap sebagai hal yang tidak etis, immoralitas, bertentangan dengan nilai-nilai adat atau bahkan mengganggu ketertiban umum yang hidup dalam masyarakat.

            Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum yang berlaku di Indonesia, dimana nilai ketuhanan adalah menjadi nilai utama yang terdapat dalam Pancasila, hal ini tentu saja membuat Indonesia bukan hanya sekedar menjadi negara hukum ( recht staat ) biasa, akan tetapi Indonesia adalah Negara hukum yang berkonsep ketuhanan ( goddelijkheid recht staat ) yang secara eksplisit tersebut dalam Pasal 29 ayat ( 1 ) Konstitusi, yang menyatakan :

“ Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

            Perilaku LGBT sendiri tidak dibenarkan dan dilarang oleh norma agama manapun yang hidup di Negara Indonesia. Pada dasarnya Tuhan menciptakan manusia adalah untuk berpasang-pasangan, yaitu antara laki-laki dengan perempuan, hal ini dapat dicermati dalam firman Allah SWT yang terdapat Al-Qur’an Surah Adh-Dhariyat ayat 49, yang artinya :

“ Dan segala sesuatu telah Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.”

            Hakikat penciptaan manusia adalah untuk berpasang-pasangan, yaitu seorang laki-laki dengan seorang perempuan dengan menjalin suatu ikatan perkawinan yang suci berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Maka dengan adanya suatu perilaku LGBT tersebut tentu saja melanggar kodrat yang ditentukan oleh Tuhan, dimana dalam perilaku LGBT adalah laki-laki menyukai sesama jenisnya ( gay ), perempuan menyukai sesama jenisnya ( lesbian ), seseorang laki-laki yang menyukai laki-laki dan perempuan atau sebaliknya ( bisexual ) dan perubahan jenis kelamin ( transgender ).

            Maka dari itu, perilaku LGBT bertentangan dengan norma-norma agama yang berlaku di Indonesia, sedangkan diketahui bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa ( goddelijkeheid recht staat ) yang seharusnya nilai-nilai agama harus dijunjung tinggi sebagai tolak ukur moralitas suatu Bangsa. Sejalan dengan hal tersebut, Pancasila sebagai falsafah pandangan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dan merupakan suatu ideologi Negara menempatkan nilai ketuhanan di urutan pertama dari ke-lima sila yang terdapat didalamnya. Perilaku LGBT sendiri tidak dibenarkan oleh norma agama, jadi Negara Indonesia seharusnya juga menentang terhadap perilaku tersebut karena tidak sesuai dengan nilai luhur Pancasila.

            Dan jika karena alasan hak azasi manusia yang menjadi hak dasar setiap manusia yang juga merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang menjadi dasar untuk menjamin hak-hak dasar manusia termasuk di dalamnya kaum LGBT, maka hal ini perlu dikaji berdasarkan batasan-batasan hak-hak dasar manusia seperti yang telah disebutkan dalam Pasal 28 J ayat ( 2 ) Konstitusi, dimana hak azasi manusia tersebut tetap diakui oleh Negara asalkan tidak melampaui batas, batasan tersebut meliputi :

a            .       Pertimbangan moral;
b            .      Nilai-nilai agama;
c            .       Keamanan, dan;
d            .      Ketertiban umum di dalam suatu masyarakat yang demokratis.

Dengan adanya perilaku LGBT saja sudah bertentangan dengan nilai-nilai agama apalagi menyangkut mengenai pertimbangan moral dan ketertiban umum di dalam kehidupan sosial masyarakat. Tentu saja perilaku menyimpang ( social distortion ) tersebut menggangu ketertiban umum yang hidup didalam kehidupan sosial masyarakat. Hal ini berarti walaupun perilaku LGBT tetap djamin oleh hak azasi manusia tetapi hak azasi ini tidak mencerminkan nilai keadilan ( justice value ) bagi semua rakyat, karena disisi lain ada yang diuntungkan karena sesuatu hal dan disisi lain ada yang merasa dengan adanya hak tersebut menggangu ketertiban umum yang hidup di dalam kehidupan sosial masyarakat.

Walaupun LGBT tidak dapat dikategorikan ke dalam suatu bentuk kejahatan yang diatur dalam buku – II KUHP maupun pelanggaran yang diatur dalam buku – III KUHP, namun perilaku LGBT tersebut merupakan suatu hal penyimpangan sosial ( social distortion ) yang ditakutkan oleh masyarakat karena dengan adanya perilaku tersebut akan membawa dampak dan pengaruh secara langsung maupun tidak langsung di dalam kehidupan sosial masyarakat. Pada akhirnya perilaku LGBT tersebut dipandang sebagai perilaku yang bersifat negatif di mata masyarakat Indonesia.

      B.     Legalitas LGBT dalam hukum perdata positif di Indonesia

Hubungan yang terjadi antara pelaku LGBT tentu saja menimbulkan suatu hubungan keperdataan, dimana hubungan keperdataan tersebut biasanya mengarah kepada persoalan perkawinan. Apakah di dalam hukum perdata positif di Indonesia yang sekarang ini me-legalkan perkawinan sesama jenis ?

Perkawinan sejatinya juga merupakan hak azasi untuk setiap rakyat Indonesia, dimana hal tersebut diatur dalam Pasal 28B ayat ( 1 ) Konstitusi, yang menyatakan :

“ Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.”

Perkawinan yang sah tersebut kemudian dijelaskan lebih lanjut oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang merupakan amanat dari Pasal 28B ayat ( 1 ) Konstitusi. Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan :

“ Perkawinan adalah suatu ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Dapat dicermati dari definisi diatas, bahwa perkawinan hanya dapat dilaksanakan antara seorang pria dan seorang wanita yang telah memenuhi syarat perkawinan. Hukum positif perkawinan yang berlaku di Indonesia sampai saat ini adalah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam bagi umat muslim di Indonesia. Di dalam Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa suatu perkawinan harus memenuhi rukun-rukun, diantaranya :

a         .       Calon mempelai pria;
b         .      Calon mempelai wanita;
c         .       Wali nikah;
d         .      Dua orang saksi, dan;
e         .       Ijab dan kabul.

Rukun perkawinan atau rukun pernikahan dalam Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam juga secara tegas menyebutkan bahwa subjek perkawinan tersebut hanyalah seorang calon mempelai pria dan calon mempelai wanita. Jadi, jelas bahwa di dalam hukum perdata positif di Indonesia tidak ada ruang dan tempat untuk melegalkan perkawinan sesama jenis, dan jika ada pun perkawinan tersebut harus dibatalkan demi hukum ( absolut nietig ).

      C.    Legalitas LGBT dalam hukum pidana positif di Indonesia

Lingkup LGBT sangat luas apabila dikaitkan dengan hukum pidana, mengingat LGBT tersebut merupakan empat perilaku yang berbeda yaitu Lesbian, Gay, Bisexual dan Transgender yang penyebutannya di jadikan menjadi satu ( akronim ). Namun diantara empat perbuatan tersebut, yang paling banyak menjadi sorotan adalah mengenai hubungan sesama jenis yang tidak dibenarkan dalam norma agama dan bertentangan dengan nilai luhur Pancasila serta Konstitusi. Di dalam KUHP, terutama yang mengatur mengenai delik kejahatan dan pelanggaran kesusilaan, secara spesifik belum ada yang mengatur mengenai hal tersebut.

Fakta yang pertama adalah KUHP merupakan konkordasi dari hukum pidana Kolonial Belanda yaitu Wetboek Van Strafrecht Voor Nederlandsch-Indie dan diubah namanya menjadi Wetboek Van Strafrecht ( kemudian yang sekarang ini dikenal dengan nama KUHP ) oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan sampai sekarang masih digunakan dan menjadi landasan hukum materiil hukum pidana positif di Indonesia. Maka secara tidak langsung kiblat hukum pidana positif yang berlaku di Indonesia yaitu berkiblat pada hukum pidana Belanda yang digunakan pada zaman Kolonialisme yang dulunya Indonesia masih bernama Nederlandsch Indie. Sedangkan hukum dan norma-norma adat ( living law ) yang tidak tertulis umumnya tidak terlalu banyak berperan dalam pembentukan hukum pidana di Indonesia, karena hukum pidana Indonesia yang berlaku saat ini merupakan sebuah injection atau suntikan dari budaya Eropa khususnya Belanda yang tidak sesuai dengan norma agama dan norma adat yang hidup di dalam masyarakat Nusantara. Dengan adanya suntikan hukum pidana yang lekat dengan budaya Eropa tersebut maka tidak sesuai dengan hukum adat maupun norma-norma yang tidak tertulis yang hidup di dalam masyarakat terutama mengenai kesusilaan.

Fakta kedua, bahwa sejak tahun 1811 Belanda telah melegalkan homoseksualitas dan  pada tahun 2001 Belanda melegalkan aktivitas lesbian dan gay dalam bentuk pernikahan sesama jenis di Negaranya, dan mengadakan festival gay pride ! setiap awal Agustus ( sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Hak_LGBT_di_Belanda ). Tentu saja hal ini berkaitan dengan fakta yang pertama mengenai konkordasi Wetboek Van Strafrecht Voor Nederlandsch-Indie menjadi KUHP, dimana di dalam KUHP tersebut terdapat nilai-nilai yang identik dengan budaya yang hidup di Belanda terutama mengenai hal kesusilaan khususnya mengenai lesbian dan gay yang merupakan tindakan tercela dan tidak sesuai dengan norma agama dan norma adat yang hidup ( living law ) dan ada di dalam hukum adat Nusantara yang selalu menjunjung tinggi norma agama dan kesopanan.

Jika dicermati, delik kejahatan kesusilaan yang terdapat dalam Pasal 281 – 296 KUHP tidak ditemukan satu pun pemidanaan terhadap pelaku lesbian dan gay. Dalam hal ini, saya tidak beranggapan bahwa setiap orang yang terlibat dalam lesbian, gay, bisexual dan transgender harus dijatuhi pidana atau kriminalisasi, karena setiap perbuatan lesbian atau gay belum tentu dapat dikatakan sebagai sebuah perbuatan kejahatan. Melainkan, apabila hal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk melawan hukum dan dilakukan dengan unsur-unsur paksaan ( dwang ), kesengajaan ( dolus ), kelalaian ( culpa ) niatan ( mens rea ), perlakuan kejahatan itu sendiri ( actus reus ) ancaman dan delik-delik lain yang berkaitan dengan kejahatan, maka terhadap perilaku tersebut harus di pidana. Tujuan yang ingin dicapai oleh hukum pidana sebenarnya bukanlah suatu pemidanaan terhadap pelakunya, tetapi dengan adanya hukum pidana seseorang dapat lebih berhati-hati dalam melakukan suatu perbuatan, manakala perbuatan ini sudah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan pidana, artinya hukum pidana senantiasa selalu mengedepankan upaya pencegahan ( preventif ) daripada upaya penindakan ( represif ), karena upaya penindakan dalam hukum pidana merupakan langkah terakhir ( foldium remedium ).

Dalam hal kejahatan kesusilaan sesama jenis, memang ada satu pasal yang mengatur mengenai hal tersebut di dalam KUHP, yaitu Pasal 292 KUHP yang menyatakan :

“ Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain yang sama jenis kelaminnya dengan dia yang diketahui atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.”

Apabila konteks Pasal 292 KUHP dicermati, maka terdapat suatu delik perbuatan kejahatan dimana seseorang yang dewasa melakukan perbuatan cabul dengan orang yang belum dewasa ( anak ) yang jenis kelaminnya sama dimana konteks ini merujuk pada perbuatan lesbian atau gay¸ tetapi disisi lain delik kesusilaan yang terdapat dalam Pasal 292 KUHP tersebut juga dapat mengarah ke perbuatan sodomi atau pedofilia yang korbannya adalah anak-anak. Sedangkan secara lex specialis perbuatan ini sudah dirumuskan ke dalam Pasal 76D Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman pidana yang sama yaitu paling lama lima tahun penjara.

Upaya kriminalisasi yang dilakukan oleh Pasal 292 KUHP hanya sebatas perbuatan cabul yang dilakukan oleh orang dewasa dengan anak-anak yang sama jenis kelaminnya. Sedangkan anak menurut Pasal 1 ayat ( 3 ), ( 4 ) dan ( 5 ) Undang – undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah mereka yang berusia dibawah 18 ( delapanbelas ) tahun.


Sedangkan bagi orang dewasa yang berusia diatas 18 ( delapanbelas ) tahun, tidak diberikan kepastian terhadap perlindungan hukum apabila yang bersangkutan menjadi korban pencabulan sesama jenis baik itu lesbian maupun gay. Bisa saja pelaku tersebut mengincar korban yang usianya diatas 18 ( delapanbelas ) tahun. Artinya pelaku tersebut tidak memandang segala jenis usia ketika ia melakukan perbuatan kejahatan tersebut, karena mungkin di dalam dirinya timbul hasrat untuk melakukan perbuatan demikian dan mengincar siapa saja yang ada dihadapannya. Sehingga pelaku tersebut secara melawan hukum merampas kemerdekaan orang lain yang sama dewasanya dan sama jenis kelaminnya dengan cara paksaan dimana hal tersebut sama halnya dengan Pasal 285 KUHP dimana ada unsur ancaman kekerasan dan pemaksaan yang dilakukan guna memberikan stimulus terhadap perbuatan kejahatan tersebut, tetapi yang membedakan antara Pasal 285 KUHP dan 292 KUHP adalah siapa korbannya dan jenis kelaminnya dimana dalam kasus ini berkaitan dengan perilaku lesbian dan gay. Jika didalam Pasal 285 KUHP tentang pemerkosaan korbannya adalah seorang wanita yang bukan istrinya, sedangkan dalam Pasal 292 KUHP korbannya adalah orang yang belum dewasa ( anak ) yang jenis kelaminnya sama.

Namun, terhadap kejahatan kesusilaan yang korbannya adalah orang dewasa yang jenis kelaminnya sama, dimana dalam kasus ini berkaitan dengan lesbian, gay, dan transgender sama sekali belum diatur di dalam hukum pidana positif di Indonesia, hal ini berkaitan dengan fakta bahwa di Belanda telah melegalkan aktivitas homoseksualitas sejak tahun 1811 dan pastinya delik mengenai kejahatan kesusilaan dengan jenis kelamin yang sama dan korbannya orang dewasa adalah alasan logis mengapa terhadap perbuatan ini tidak diatur dalam KUHP.

Tentu saja hal ini mengakibatkan kekosongan hukum yang harus secepatnya diisi agar hukum pidana positif di Indonesia menjadi hukum yang progresif yang selalu fleksibel mengikuti perkembangan zaman.

DAFTAR PUSTAKA :


Al – Qur’an
Undang – undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang – undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana
Undang – undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang – undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
Kitab Undang – undang Hukum Perdata

Universal Declaration of Human Rights

Tidak ada komentar:

Posting Komentar